12.25.2008

urgensi mengenal tuhan

Tanpa melihat dampak praktis individual atau sosial yang muncul dari pengenalan terhadap Tuhan, Asmâ`, dan sifat-sifat mulia-Nya, hal itu merupakan satu hal berharga yang dapat berpengaruh dalam kebahagiaan manusia. Karena kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan yang benar berkenaan dengan Diri-Nya. Manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagaimana mestinya, ia tidak akan mungkin sampai pada kesempurnaannya, bagaimanapun ia berusaha dan beramal saleh.



Pengetahuan yang benar tentang Tuhan merupakan kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.



إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ



“Kepada-Nya membumbung perkataan-perkataan yang baik dan amal yang salehlah yang menaikkan-Nya”. (QS. Fâthir : 10)[2]



Syahid Mutahhari dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan menusia terletak pada pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam, khususnya dalam perspektif Syi’ah, tanpa memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.[3]

Tuhan, Siapakah itu?



Siapa wujud yang disebut Allah oleh orang Arab, God oleh orang Barat, dan Khudo oleh orang Persia? Apa sifat-sifat-Nya? Apa hubungannya dengan kita? Bagaimana cara kita berhubungan dengan-Nya? Dan seterusnya.



Dengan memperhatikan sejarah manusia, kita akan dapat memahami bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan telah muncul sejak dahulu kala. Dengan kata lain, sejarah keyakinan terhadap Tuhan muncul seiring dengan keberadaan manusia. Tetapi, hal ini bukan berarti semua orang yang meyakini Tuhan memiliki persepsi dan definisi yang sama.



Polemik dan perbedaan pendapat tentang Tuhan ini sangatlah dahsyat sekali, terlebih di kalangan orang-orang yang mengandalkan akal dan pemikiran pribadi tanpa mendengarkan tuntunan para duta Ilahi. Sebelum kita menjelaskan sifat-sifat Tuhan dalam kaca mata Islam, alangkah baiknya jika kita bandingkan terlebih dahulu konsep Tauhîd dalam Islam dan konsep ke-Tuhanan dan beragama dalam pandangan agama lain. Untuk itu, di sini kami akan bawakan beberapa pandangan para ilmuwan nomor satu dunia mengenai Tuhan.

a. Tuhan Dalam Perspektif Sokrates



Sokrates (399-470) tidak berbeda dengan orang Yunani kebanyakan. Ia meyakini Tuhan yang berbilang. Berdasarkan sejarah filsafat yang dinukil dari karya-karyanya, Sokrates berkeyakinan bahwa manusia tidak butuh lagi bimbingan dan “uluran tangan” Tuhan untuk sampai pada kebahagiaannya. Sokrates juga tidak menyebut sama sekali posisi dan hubungan Tuhan dengan kehidupan manusia, walaupun pada tempat lain ia berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia harus berlandaskan moral dan etika.

b.Tuhan Dalam Perspektif Plato



Plato (348/347-428/427) berasumsi bahwa ada dua eksistensi yang disebut sebagai Tuhan: pertama, kebaikan absolut, dan kedua, Pencipta. Plato beranggapan bahwa kebaikan absolut adalah Tuhan asli atau Tuhan Bapak, sedang Pencipta adalah Tuhan Anak. Menurut keyakinannya, pengetahuan tentang kebaikan absolut sangatlah sulit, bahkan merupakan pengetahuan tersulit yang dapat dicapai. Dua Tuhan ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh para filsuf, di mana mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki keistimewaan spiritual, nalar, dan bahkan fisik. Perlu diingat bahwa bukan sembarang filsuf yang ia maksud. Yang dimaksud adalah hanya para filsuf yang telah menginjak usia 50 tahun yang mampu memahami kebenaran absolut. Sedangkan kelompok lain yang merupakan mayoritas, tidak akan mampu memahami keberadaan-Nya sampai kapanpun.

c. Tuhan Dalam Perspektif Arestoteles



Menurut keyakinan Arestoteles (322/321-384/383), alam senantiasa ada dari sejak dulu kala, dan tidak diciptakan oleh siapa pun. Oleh karenanya, Tuhan versi Arestoteles bukan Pencipta alam, tetapi penggerak alam itu sendiri yang diyakininya sebagai Tuhan; penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Ciri paling dominan yang dimilki oleh Tuhan versi Arestoteles ini adalah ia penggerak dan ia sendiri tak bergerak. Adapun poin penting dalam pengenalan Tuhan dalam perspektif Arestoteles adalah Tuhan tidak layak disembah, dicintai dan dinanti pertolongan-Nya. Tuhan Arestoteles tidak bisa menjawab dan membalas cinta hamba-Nya. Ia tidak memiliki andil sedikitpun dalam setiap tindakan manusia. Ia hanya sibuk memikirkan diri-Nya sendiri.[4]

d. Tuhan Dalam Perspektif Kaum Kristiani Abad Pertengahan



Pada pembahasan faktor-faktor yang membuat orang lari dari agama di Barat, telah kita singgung illustrasi gereja tentang Tuhan. Di sini kita akan tambahkan bahwa pada abad pertengahan, konsep ber-Tuhan adalah salah satu penyebab dari sekian banyak sebab yang berpengaruh dalam kehidupan. Orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan pada era ini selalu berasumsikan bahwa setiap fenomena yang tidak diketahui penyebab aslinya, seperti gerhana matahari dan bulan, mereka larikan semuanya kepada Tuhan dan menganggap Tuhanlah penyebab segalanya.



Kongklusi dari pendapat ini adalah Tuhan hanya bisa diketahui dalam kebodohan mereka, dan secara otomatis, semakin bertambah pengetahuan kita, maka semakin sempitlah ruang lingkup Tuhan, sehingga andaikata pada suatu saat segala tabir yang menutupi manusia tersingkap dan manusia telah memahami faktor naturalis dari berbagai fenomena, niscaya tidak ada tempat lagi bagi Tuhan dalam kehidupannya untuk selamanya.



Berdasarkan persepsi ini, hanya sebagian saja dari eksistensi yang menunjukan keberadaan Tuhan. Eksistensi tersebut adalah eksistensi yang tidak diketahui sebab keberadaan-Nya. August Comte mengatakan, “Ilmu pengetahuan adalah pemisah Tuhan dari kerja-Nya”.[5]



Maksud dari ungkapan ini adalah sampai sekarang manusia berasumsi bahwa sebab dari segala sesuatu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah seperti simbol kekuatan yang dipahami oleh mereka. Tak ubahnya bagaikan tukang sihir yang tanpa pendahuluan apapun sanggup menciptakan sesuatu. Contohnya, jika seseorang sakit kepala, kemudian ia ditanya kenapa kau sakit kepala, jawabannya adalah Tuhan yang menciptakannya. Maksud dari ungkapan ini adalah tidak ada faktor alami yang membuat sakit kepala itu. Sebagai konsekuensinya, ketika dipahami bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh firus ini dan itu, maka Tuhan tidak mendapatkan tempat lagi di dalam benak mereka. Dan begitulah seterusnya, semakin tersingkap sebab-sebab (segala fenomena alam) yang dulunya terselubung, maka pengaruh Tuhan akan semakin sempit dan sempit hingga akhirnya tidak mereka yakini sama sekali.



Pada dasarnya, kelompok yang meyakini Tuhan seperti ini, mereka menganggap Tuhan tak lebih dari bagian alam semata.[6]

e.Tuhan Dalam Perspektif Galileo



Setelah abad pertengahan berlalu dengan mementaskan parade akbar ilmu-ilmu empiris, para ilmuwan yang tentunya memiliki landasan empirik, seperti Galileo (1564-1642), berpandangan lain tentang Tuhan. Ia berpendapat, “Alam adalah kumpulan dari sekian milyard atom yang tak terhingga. Setiap benda tersusun dari atom-atom itu, sedang “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan dan menyediakan atom-atom itu, sehingga ketika alam sudah tercipta berkat Tuhan (sebagai Pencipta atom), ia tidak butuh lagi kepada-Nya, dan berjalan sendiri secara independen”.[7]

f.Tuhan Dalam Perspektif Newton



Newton (1642-1727) menganggap bahwa hubungan Tuhan dan makhluk-Nya seperti hubungan jam dan pembuatnya. Sebagaimana jam bisa berjalan sendiri setelah dirancang dan disusun, alam pun juga demikian setelah diciptakan oleh Tuhan. Secara independen, ia wujud sebagaimana kita lihat sekarang. Newton juga menambahkan satu poin yang menjadi faktor pembeda pendapatnya dengan pendapat Galileo. Ia mengatakan, “Tuhan terkadang turun tangan dalam masalah tertentu. Tuhan juga meluruskan dan menata ketidakteraturan gerak planet-planet, dan mencegah benterokan-benterokan antara bintang satu dengan yang lain”.



Pendapat ini dapat kita katakan sebagai kelanjutan dari pandangan umum yang populer di abad-abad pertengahan yang meyakini Tuhan berada dalam tempat-tempat yang tak diketahui sebabnya. Ketika terungkap bahwa tidak terjadinya bentrokan antara galaksi bukan karena campur tangan langsung dari Tuhan dan sesuai dengan undang-undang ilmiah, maka untuk kesekian kalinya ”kerja” Tuhan kembali menyempit dan terbatas.[8]



Mayoritas ilmuwan yang hidup pada abad ke-17 dan 18 lebih meyakini pendapat Galileo ketimbang yang lain. Keyakinan tersebut, seperti yang kita bawakan sebelumnya, mengatakan, Tuhan menciptakan alam yang – dalam kelanjutannya – tidak membutuhkan lagi kepada Tuhan, seperti sebuah bangunan yang tidak butuh lagi kepada arsitek untuk kelanggengannya.

Ringkasan



1. Kemanusian manusia tergantung pada seberapa banyak pengetahuannya terhadap Tuhan, karena ilmu dan pengetahuan manusia merupakan bagian terpenting dan termulia dari eksistensinya. Mengenal Tuhan juga merupakan tujuan kemanusiaan.



2. Sokrates (399-470 SM.) meyakini adanya beberapa Tuhan, dan manusia untuk sampai pada kebahagiaannya tidak butuh lagi pada petunjuk dan bimbingan Tuhan. Sokrates tidak menjelaskan secara rinci kedudukan Tuhan serta hubungan-Nya dengan kehidupan manusia.





3. Plato (348/7-428 SM.) meyakini adanya dua Tuhan. Namun, hanya para filsuf sajalah yang mampu memahami dan mengenal dua Tuhan tersebut. Itupun setelah melalui beberapa jenjang dan tahapan yang amat padat di usia 50 tahunan. Sedang lapisan masyarakat yang lain, mereka tidak akan dapat mengenal Tuhan untuk selamanya.



4. Arestoteles (322/1-384 SM.) berasumsi bahwa alam itu Qadîm yang tidak diciptakan oleh siapapun. Tuhan versi Arestoteles bukanlah Pencipta alam, akan tetapi Ia hanya penggerak alam. Dalam keyakinannya, Tuhan tidak layak untuk disembah, dicintai, dan tak dapat dinanti pertolongan-Nya, sebab Ia tak mampu menjawab cinta kasih manusia, dan tak dapat melakukan apapun untuk manusia.



5. Kaum Kristiani abad pertengahan memiliki gambaran lain akan Tuhan. Mereka mensejajarkan Tuhan dengan sebab-sebab lain yang berpengaruh dalam kehidupan, dan ketika penyebab sebuah pristiwa tidak mereka ketahui, mereka langsung mengembalikannya kepada Tuhan.



6. Dalam perspektif Galileo, “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan atom-atom saja. Dunia, setelah tercipta, tidak lagi membutuhkan Tuhan. Oleh karena itu, ada-tidaknya Tuhan setelah itu tidak berpengaruh sama sekali atas alam. Teori dan pendapat ini banyak dianut oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18-an Masehi.



7. Newton meyakini hubungan Tuhan dan alam seperti hubungan arloji dan pembuatnya. Ia berkeyakinan, sewaktu-waktu Tuhan juga turun tangan untuk mengatur alam. Dan Ia juga mencegah sebagian ketidakteratuan dalam gerak dan perputaran galaksi.

TUHAN DALAM ISLAM

Sekilas Tentang Sifat-Sifat Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an



Bisa dikatakan bahwa argumen pokok munculnya Islam adalah penjelasan tentang hakikat Tuhan sebagaimana mestinya.[9] Tidak ada teks dan literarur agama yang selengkap dan sebaik Al-Qur’an dalam memaparkan sifat-sifat Allah SWT. Bahkan agama sebelum Islam pun tak mampu menjelaskannya secara komprehensif. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat Allah SWT dalam bentuk yang paling komplit walaupun dalam batas kemampuan pemahaman dan bahasa manusia.



Menurut Al-Qur’an, Tuhan adalah Maha Luas (rahmat-Nya), Maha Mengetahui,[10] Paling Cepat Menghisab,[11] Maha Hidup, Maha Kekal dan Senantiasa Mengurus Makhluk-Nya,[12] Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Benar (Maha Benar, Tepat dan Pemilik Hakikat)[13], Dzat Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan,[14] Tuhan Yang Tidak Bergantung pada sesuatu yang lain, dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.[15]



Tuhan adalah Maujud sebelum terwujudnya segala sesuatu, dan sekaligus Ia Akhir dari segala sesuatu, Maha Zhâhir dan sekaligus Bâthin.[16]



Tuhan Yang Tinggi (Transedental)[17], artinya Ia lebih tinggi dari segala yang kita tak akan dapat memahami dan menggambarkan sedikitpun hakikat, keindahan, dan keagungan-Nya.[18]



Mata-mata telanjang tak akan mampu melihat-Nya, sedang Ia melihat mata-mata.[19]



Tuhan Yang Tunggal dan Tidak Ada Tuhan Selain-Nya,[20] Ia Esa (Ahad),[21] Ia Satu (Wâhid),[22] dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.[23]



Nama-nama terbaik adalah milik-Nya dan Ia dapat dipanggil dengan nama-nama tersebut.[24]



Ia adalah Raja Dunia yang sejati, Maha Suci dari segala cela, Pemberi selamat, Yang Mengaruniakan keamanan, Maha Pemelihara segala sesuatu, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Yang Pantas Sombong.[25]



Pemilik sifat-Sifat Terbaik.[26] Kemanapun kita arahkan wajah kita, Ia senantiasa berada di sana.[27]



Ia Mengetahui segala sesuatu,[28] dan Kuasa atas segala sesuatu.[29]



Tuhan yang walaupun Maha Agung, Tidak Terbatas, tak memiliki tandingan dan partner, namun Ia lebih dekat kepada manusia dari urat nadi mereka, bahkan Ia mengetahui segala bisikan dalam jiwa manusia.[30]



Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dua sifat ini begitu banyaknya di mana setiap surah Al-Qur’an selalu diawali dengan dua sifat ini “Bismillâhirrahmânirahîm”. Tuhan yang mewajibkan rahmat dan kelembutan bagi diri-Nya.[31]



Tuhan yang Maha Pengampun, Penghapus dosa, Maha Mengampuni, Maha Kuat,[32] Penakluk,[33] Maha Penakluk,[34] Penerima Taubat,[35] Maha Pemberi Anugerah,[36] Maha pencinta,[37] Maha pengasih,[38] Pemilik nikmat,[39] Pemilik rahmat,[40] Maha pengampun,[41] Pemilik keutamaan yang agung.[42]



Ia adalah Tuhan yang mendengar permintaan hamba-Nya sekaligus mengabulkannya,[43] tangan penuh rahmat dan kuasa-Nya senantiasa terbuka lebar, setiap yang diminta, pasti diberikannya, Ia Dzat Pemberi rizki.[44]



Tuhan dalam perspektif Al-Qur’an adalah Tuhan yang Maha Pencipta,[45] Pencipta langit dan bumi.[46] Bahkan lebih tinggi lagi, Ia adalah Pencipta segala sesuatu.[47] Dengan demikian, segala fenomena dan eksistensi yang ada di dunia bergantung dan butuh pada-Nya.



Tuhan, yang di langit sebagai Tuhan dan di bumi sebagai Tuhan pula.[48]



Di mana kita berada, Tuhan selalu bersama kita, dan Ia mengetahui segala perbuatan yang kita kerjakan.[49]



Tuhan dalam Al-Qur’an adalah Rabb (pemilik ikhtiar, raja, pengatur dan pengurus segala sesuatu) dan Tuhan semesta alam.[50]



Ia tak memiliki tandingan dan padanan, baik dalam Penciptaan, pemerintahan,[51] pengaturan,[52] pengadilan,[53] syafa’at,[54] dan kesempurnaan. Setiap bagian dan sempalan kesempurnaan bersumber dan berasal dari-Nya.[55]



Pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab pengenalan terhadap Tuhan. Dari kedalaman dan kedetailan ayat-ayat-Nya sampai-sampai cendekiawan besar manapun tak sanggup untuk mengetahui hakikat dan realita-Nya. Definisi Al-Qur’an tentang Tuhan merupakan definisi terlengkap dan termudah, serta paling komperehensif. Oleh karena itu, Imam Khomeini ra, seorang arif nan bijak, pemikir dan mufassir besar mengatakan, ”Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup selamanya…. Tak ada satu kitab pun yang dapat menjelaskan Tuhan sebagaimana yang dipaparkan olehnya, bahkan dalam kitab-kitab irfânî sekalipun…”.[56]

Ringkasan



1. Tidak ada Satu kitab pun yang mampu mengenalkan Tuhan selain kitab suci Al-Qur’an.



2. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan, dan nama-nama terbaik hanya milik-Nya semata.



3. Ia Tunggal, Satu, dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.



4. Tuhan, kendati Maha agung dan besar, namun Ia lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi mereka, dan di manapun kita arahkan wajah kita, Ia pasti berada di sana.



5. Maha Pemberi Anugerah, Maha Pengasih, dan Tuhan Yang Rahmat-Nya Mengalahkan amarah dan murka-Nya.



6. Tangan-Nya selalu terbuka lebar, pengabul segala do’a, dan pecinta para hamba-Nya.



7. Tuhan Pencipta segala sesuatu dan pengatur segala urusan.



8. Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup untuk selamanya (Imam Khomeini).

TUHAN, WUJUD BADÎHÎ (APRIORI)[57]

Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Kaca Mata Al-Qur’an[58]



Buku-buku filsafat dan Kalâm seringkali dimulai dengan kajian mengenai penetapan keberadaan Tuhan yang dengan berbagai argumentasi berupaya membuktikan bahwa alam ini mempunyai Tuhan dan Ia bukanlah makhluk dan ciptaan siapapun.



Adapun dalam kitab-kitab langit seperti Al-Qur’an, tema tentang Tuhan dijelaskan sangat berbeda. Dalam kitab-kitab suci jarang ditemukan argumentasi secara langsung dalam menetapkan asal keberadaan Tuhan. Seakan-akan keberadaan-Nya adalah suatu hal yang gamblang dan jelas, yang tidak bisa diingkari dan tidak membutuh dalil maupun argumentasi.



Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mîzânnya menegaskan, “Al-Qur’an menganggap keyakinan terhadap Tuhan merupakan permasalahan apriori (badîhî). Dengan artian, meyakini hal itu tidak memerlukan argumentasi. Yang perlu diargumentasikan adalah sifat-sifat-Nya saja, seperti ke-Esaan Tuhan, Penciptaan, ilmu dan kekuasaan-Nya.[59]



Menurut keyakinan mufassir besar ini dalam syi’ar Islam lâ ilâha illalâh– sebagai inti tuntunan Al-Qur’an – yang perlu diargumentasikan adalah sisi negatifnya yang berarti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Adapun “Tuhan itu ada” sama sekali tidak memerlukan agumentasi sedikitpun”.[60]



Logika Al-Qur’an dalam menetapkan eksistensi Tuhan, adalahafillâhi syakk (apakah ada keraguan dalam keberadaan Allah?) [61]

Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Perspektif Agama Lain



Sebagaimana telah kami terangkan di atas tadi, dalam kitab agama-agama langit yang lain teori semacam ini juga dipakai. A.J. Alberry dalam bukunya ‘Aql va Wahy dar Qur’ân (Akal dan Wahyu Dalam Al-Qur’an) mengatakan, “Di zaman Plato, Yunani menjadi asal muasal di mana penetapan keberadaan Tuhan membutuh argumentasi. Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan masyarakat Barat dalam mencari Tuhan. Tidak ada seorang pun dari penulis kitab Perjanjian Lama (Taurat) yang mengalami kebuntuan dan kejelimetan dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan dan keraguan. Karena bangsa Sâmî (bangsa Arab dan Yahudi) mengenal dan mengetahui Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Hal ini juga terdapat dalam kitab Perjanjian Baru (Injil) kendati terdapat sedikit perbedaan”.[62]



Dari kitab Avesta (kitab suci agama Zoroaster – Pen.) juga bisa dipahami bahwa keberadaan Tuhan adalah sebuah hal yang apriori. Dengan demikian, aprioritas wujud Tuhan bukanlah keyakinan kaum Sâmî semata.



Alhasil, dalam UpaniShâds yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kendati terdapat penjelasan akan pertayaan tentang keberadaan Pencipta,[63] akan tetapi, lebih banyak didapati ungkapan siapa Pencipta itu? Apa sifat-sifat-Nya? Dan jarang ditemukan ungkapan tentang keraguan wujud Tuhan.

Masyarakat Jahiliyah Dan Keyakinan terhadap Tuhan



Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami bahwa keberadaan Tuhan sudah diyakini oleh masyarakat jahiliyah kala itu. Tak terkecuali para penyembah berhala.



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَاْلقَمَرَ لَيْقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ



“Dan jika mereka ditanya, “Siapa Pencipta langit dan bumi, dan siapa yang mengendalikan matahari dan rembulan?, niscaya mereka akan menjawab, “Allah!”, maka betapa mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar”.[64]



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ



“Dan disaat kamu bertanya pada mereka, “Siapakah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Ia menumbuhkan bumi setelah matinya, niscaya mereka akan akan berkata, “Allah!”. Katakanlah segala puji bagi Allah, akan tetapi sebagaian besar dari mereka tidak berakal dan tak berfikir”.[65]



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ



“Dan ketika kamu bertanya pada mereka, “Siapa yang menciptakan langit-langit dan bumi, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Dzat yang Maha Agung dan Maha mengetahuilah yang menciptakan semuanya”.[66]

Keyakinan Kaum Nuh, ‘Âd, Dan Tsamûd Terhadap Eksistensi Tuhan



Dari beberapa ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya diyakini oleh masyarakat yang hidup sezaman dengan nabi SAWW. Kaum Nuh, ‘Âd, dan Tsamûd, serta kaum-kaum yang hidup setelah mereka, sama sekali tidak berpolemik dengan para nabi zamannya tentang masalah keberadaan Tuhan. Yang mereka pertentangkan adalah ke-Esaan Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan. Para penyembah berhala juga demikian. Mereka menerima wujud Tuhan sebagai Pencipta alam, sedang patung dan berhala-berhala itu mereka sembah karena dianggap sebagai manifestasi wujud Tuhan.



Dengan kata lain, mereka menyembah berhala-berhala sebagai sarana dan penolong bagi mereka untuk berdialog dan mendapatkan keinginannya dari Tuhan.



أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَعَادٍ وَثَمُوْدَ وَالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ لاَ يَعْلَمُهُمْ إِلاَّ اللهُ … فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ



“Apakah telah sampai pada kalian kabar tentang kaum sebelum kalian; kaum Nuh, ‘Âd, dan Tsamûd serta generasi setelah mereka yang tidak diketahu kecuali oleh Allah? Para nabi di zaman mereka telah datang dan berusaha mengajak mereka, namun mereka menutup mulut-mulut mereka dengan tangan mereka,[67] dengan suara lantang mereka berkata, ”Kami tidak meyakini risalah dan misi yang kalian bawa dan kami sangat meragukan apa yang kalian serukan kepada kami untuk mempecayainya”.



Para nabi bertanya kepada mereka, “Apakah ada keraguan bahwa ada Pencipta langit dan bumi? Ia menyeru kalian sehingga dosa-dosa kalian terampuni, dan pada waktu yang telah ditentukan Ia telah memberikan tenggang waktu”. Akan tetapi mereka malah mengatakan, ”Tidak, kalian manusia biasa seperti kami, dan kalian ingin memalingkan kami dari apa yang telah disembah oleh para leluhur kami. Oleh karena itu, paling tidak berikan kami dalil yang lebih jelas lagi”.



Para nabi berkata, ”Memang kami manusia biasa seperti kalian, namun Tuhan telah memberikan nikmat-Nya pada hamba-Nya yang memiliki keinginan, dan misi ini sama sekali bukan ikhtiar kami sendiri untuk menjelaskan pada kalian, tetapi berkat izin Allah. Dan para Mukmin hanya bertawakkal kepada-Nya. Kemudian, kenapa tidak pasrahkan pada-Nya, padahal Ia telah menunjukkan jalan bagi kita? Kami tabah akan siksaan yang kalian lancarkan pada kami, dan orang-orang yang pasrah hanya bertawakal pada Allah”.



Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, lebih menitikberatkan pada satu poin bahwa keraguan para penyembah berhala tidak tertuju pada konteks wujud Tuhan. Akan tetapi, mengenai ke-Esaan-Nya, risalah (kenabian), dan hari kebangkitan. Bahkan jika dicermati lebih dalam lagi, penggalan ayat yang mengatakan fâthiris samâwâti wal ardh juga dalam konteks pemberian argumentasi tentang ke-Esaan Tuhan, bukan mengenai wujud dan keberadaan-Nya.[68]



Thabarsî dalam tafsir Majma’ul Bayân dan Sayyid Qutub dalam Fî Zhilâlil Qur’annya serta sekelompok mufassir yang lain juga berpendapat yang sama, bahwa pengingkaran para penyembah berhala itu tertuju pada konteks ke-Esaan Tuhan, bukan wujud-Nya.

Ringkasan



1. Dalam kitab-kitab langit, seperti Al-Qur’an, keberadaan wujud Tuhan merupakan hal yang telah diterima (oleh semua) dan amat gamblang sehingga tidak perlu diragukan dan diargumentasikan lagi.



2. Seperti dikatakan oleh sebagaian penulis Barat, tidak ada seorang pun penulis kitab Taurat dan Injil yang mengalami kerancuan dalam keberadaan Tuhan, dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu diargumentasikan. Hal serupa juga dapat kita jumpai dalam Avesta dan kitab-kitab suci agama yang lain.



3. Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami kalau masyarakat yang hidup sezaman dengan Nabi, tak terkecuali para penyembah berhala, telah meyakini wujud Tuhan.



4. Dari berbagai ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keyakinan akan wujud Tuhan juga telah diyakini oleh kaum Nuh, kaum ‘Âd, kaum Tsamûd, dan kaum-kaum lain setelah mereka. Polemik dan pertentangan yang digalang oleh mereka hanya berkisar pada ke-Esaan (Tauhîd), kenabian (Nubuwwah), dan hari kebangkitan (Ma’ad).

FITRAH DAN TUHAN



Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat meyimpulkan beberapa poin penting berikut ini:



1. Keyakinan akan wujud Tuhan.



2. Kecenderungan untuk ber-Tuhan.



3. Kecenderungan untuk menyembah-Nya merupakan hal fitri. Artinya, hal itu sudah ada dalam diri manusia.



Sebelum kita bawakan ayat-ayat yang memuat pon-poin di atas, alangkah baiknya jika kita sebutkan beberapa proposisi lazim berikut ini:

Arti Linguistik Fitrah



Fitrah yang bermakna robek dari sisi panjang, diambil dari akar kata فطر Kemudian, semua yang terbelah dan terkoyak disebut fitrah. Ciptaan disebut juga demikan, sebab wujud dan keberadaan telah merobek alam kegelapan dan ketiadaan yang membungkusnya. Makna ini adalah arti paling populer dari kata fitrah, sebagaimana inovasi dan kreasi baru juga bisa dipahami dari kata ini.



Fitrah yang mengikuti wazan fi’lah berarti nau’ (kualitas dan cara). Oleh karena itu, secara linguistik fitrah bermakna sebuah sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia artinya ciptaan khusus yang tersimpan dalam diri manusia.[69]



Kata fitrah ini juga pertama kali dipakai oleh Al-Qur’an dalam kaitannya dengan manusia, dan sebelumnya tidak pernah ada pemakaian kata fitrah seperti ini.[70]

Fitrah Dalam Al-Qur’an



Al-Qur’an banyak sekali memakai kata fitrah dan musytaqnya, seperti berikut:



- فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[71].



- فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ[72].



- فَطَرَنَا[73].



- فَطَرَنِي[74].



- فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[75].



ِِِِAdapun arti dari penggalan ayat-ayat di atas adalah berbeda-beda. Ada yang bermakna ciptaan, maujud, dan sebagainya. Futhûr dalam ayat ke-8 surah Al-Mulk bermakna belahan, sedangkan Munfathirdalam ayat ke-18 surah Al-Muzzammil berarti sesuatu yang terbelah.



Sedangkan kata fitrah sendiri hanya sekali dibawakan oleh Al-Qur’an. Itu pun dengan dinisbatkan kepada Allah (Fithratallâh), dan hanya dikhususkan pada manusia (fatharan nâsa alaihâ). Kata itu terdapat dalam ayat 30 surah Ar-Rûm.



Ayat inilah yang menjadi sumber munculnya terminologi fitrah dalam Islam dan mengilhami para filsuf, cendekiawan, dan kaum arif dalam mengkaji ma’rifatullâh dan ma’rifatul insân.

Fitrah Ilahi Manusia



Setiap aliran yang mengklaim bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan manusia bisa dicapai dengan mengamalkan segala tuntunannya, lazimnya memiliki pandangan dan definisi tersendiri mengenai manusia, yang pada akhirnya, berdasarkan definisi dan pemahaman tersebut, mereka dapat menentukan jalan dan kiat untuk sampai padanya.



Dalam Islam, pandangan dan kajian tentang manusia yang termuat di dalam Al-Qur’an atau dalam riwayat para ma’shûm as tidak bisa dihitung jumlahnya. Begitu banyaknya kajian dan analisa berkenaan hal itu, membahasnya akan banyak memakan waktu dan memunculkan buku-buku yang sangat tebal.[76]



Kata terbaik untuk mengungkap dan mengekspresikan pandangan Islam tentang manusia adalah istilah fitrah. Dengan demikian, bisa dikatakan teori Islam dalam menganalisa dan menyelami wujud manusia adalah teori fitrah.

Penjelasan Global Tentang Teori Fitrah



Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisik. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah kecenderungan-kecenderungan dan pengetahuan-pengetahuan khusus.





Kecenderungan yang berada dalam diri manusia itu sebagian berhubungan dengan bagian hewani, dan sebagian lagi berhubungan dengan kemanusiannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan kelompok kedua (kecenderungan manusiawi), dan tidak berhubungan sama sekali dengan insting kebinatangan mereka, seperti insting seksualitas.





Kecenderungan-kecenderungan inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan-kecenderungan tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.





Kecenderungan ini adalah spesies manusia. Artinya, kecenderungan itu tidak terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Kecenderungan itu dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun.





Kecenderungan ini potensial sifatnya. Dengan kata lain, ia dimiliki oleh setiap manusia. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia.





Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Tapi sebaliknya, jika kecenderungan itu mati yang secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam.





Sebagaimana telah kita katakan tadi, fitrah manusia terkadang masuk dalam kategori persepsi dan pengetahuan, terkadang masuk dalam kategori kecenderungan dan keinginan. Ekstemporal primer (badihiyât awwaliyah) yang dibahas dalam ilmu logika, merupakan bagian dari pengetahuan-pengetahuan fitri manusia. Sedangkan hal-hal, seperti rasa ingin tahu, cinta keutamaan, dan cinta kecantikan dan keelokan adalah bagian dari kecenderungan-kecenderungan fitrah manusia.



Mengenal Dan Menyembah Tuhan Adalah Hal Fitri



Dari ajaran Al-Qur’an bisa kita pahami bahwa mengenal Tuhan dan kecenderungan ber-Tuhan merupakan sebuah hal yang fitri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan “Tuhan Wujud Aprior bagi Semua”, keyakinan akan wujud Tuhan adalah sebuah “kesepakatan” dan bukan hal samar yang terselubung sehingga memerlukan argumentasi untuk membuktikannya. Dari pembahasan itu kita bisa memahami arti mengenal Tuhan adalah fitri.



Salah satu ayat yang mengidikasikan hal tersebut adalah ayat ke 30 surah Ar-Rûm.



فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِْيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ



Ayat ini dengan gamblang menegaskan bahwa agama adalah hal yang fitri. Dalam menjelaskan arti dari “agama” (dîn) yang terdapat dalam ayat di atas, para mufassir terbagi ke dalam dua kelompok:



a. Kelompok pertama berpendapat bahwa maksud dari agama (dîn) tersebut adalah sekumpulan ajaran, hukum yang berlandaskan ke-Islaman. Berdasarkan pendapat ini, semua yang terdapat dalam agama – dimana tuntunan terbaiknya berupa pengenalan dan penghambaan terhadap Tuhan – adalah bersifat fitri dan tersimpan dalam setiap diri manusia. Allâmah Thabathabai, salah satu dari sekian banyak mufassirîn yang meyakini pendapat ini.



b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dari agama yang sesuai dengan fitrah adalah kondisi pasrah dan tunduk secara murni di hadapan Tuhan. Karena tunduk dan taat sepenuhnya atas perintah Tuhan merupakan inti dari agama.



إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ



Berdasarkan pendapat ini, maksud dari naluri beragama adalah sebuah fitrah )kecenderungan( untuk menyembah Tuhan sudah ada dari dulu dalam jiwa manusia. Dan jelas, ketika kita katakan penyembahan terhadap Tuhan suatu yang fitri, maka pengenalan tentang-Nya pun harus fitri juga. Karena bagaimana mungkin secara fitrah kita menyembah Tuhan, di saat kita tidak mengenal-Nya (secara fitri)?

Ringkasan



1. Ayat-ayat Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, kecenderungan untuk ber-Tuhan dan naluri untuk menyembah-Nya adalah hal yang fitri.



2. Salah satu arti kata fathara adalah penciptaan, sedangkan fitrah secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.



3. Kata fitrah hanya sekali disebutkan dalam Al-Qur’an (Ar-Rûm : 30), itupun dengan bentuk penisbatan kepada Allah, dan khusus bagi manusia.



4.Perspektif Islam tentang manusia dapat dijelaskan melalui teori fitrah.



5.Berdasarkan teori fitrah:



Manusia sesuai dengan tabiat ciptaannya yang pertama, memiliki bentuk khusus, dan sudah sejak awal memiliki pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan khusus.





Fitrah Ilahi manusia hanya berkaitan dengan kelompok kecenderungan-kecenderungan khusus insani, bukan kecenderungan yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan.





Pengertian dan kecenderungan fitrah manusia merupakan faktor pembeda antara manusia dan hewan.





Kecenderungan fitri dimiliki oleh setiap individu manusia.





Kecenderungan tersebut tersimpan dalam diri manusia dan potensial sifatnya, di mana tumbuh dan berkembangnya tergantung pada setiap usaha masing-masing individu.





Apabila manusia dapat memupuk dan mengembangkan kecenderungan itu, ia akan lebih utama dari pada malaikat, dan sebaliknya, andaikan kecenderungan potensial ini gersang dan mati, niscaya ia akan lebih rendah dari posisi hewan.





Badihiyât awaliyah(apriori primer) termasuk pengetahuan fitrah, sedang rasa ingin tahu, rasa ingin unggul dari yang lain, rasa cinta keindahan termasuk kecenderungan-kecenderungan fitriyah.





6. Sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, mengenal Tuhan dan naluri ber-Tuhan adalah hal yang bersifat fitri.



7. Maksud dari dîn dalam ayat fitrah (Ar-Rûm : 30) bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahannya adalah hal yang bersifat fitri.

ARGUMENTASI KETERATURAN



Telah kami jelaskan bahwa wujud Tuhan adalah hal yang jelas. Dan keyakinan itu termasuk fitrah manusia. Artinya keyakinan ini muncul dari lubuk hati manusia. Akan tapi, hal ini bukan berarti tidak ada argumen dan dalil untuk membuktikan-Nya.[77] Ada beberapa argumentasi yang sudah pernah muncul di sepanjang sejarah.



Salah satu dari argumentasi tersimpel dan tergamblang adalah argumentasi keteratuaran. Argumen ini memiliki dua proposisi:



a. Ada sebuah sistem harmonis dan teratur dalam dunia ini.



b. Setiap sesuatu yang harmonis dan teratur pasti memiliki pengatur. Dengan demikian, keteraturan dan keharmonisan alam memiliki pengatur.



Pemahaman kandungan argumentasi ini sangatlah mudah. Setiap manusia, orang buta huruf sekalipun, mampu memahaminya, dan keberadaan Tuhan sebagai pengatur akan dapat dipahami dengan mengamati efek dan dampak keteraturan alam. Akan tetapi, untuk memahaminya lebih dalam lagi, terlebih dahulu kita harus menjelaskan definisi keteraturan itu dan sedikit menjelaskan mengenai dua proposisi di atas.

Definisi keteraturan



Keteraturan adalah berkumpulnya bagian-bagian beragam dalam sebuah tatanan dengan kualitas dan kuantitas khusus, yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan tertentu.



Seperti sebuah jam. Kita katakan sebagai sebuah benda yang teratur, karena di sana didapati berbagai komponen-komponen yang memiliki kualitas dan kuantitas tersendiri. Artinya, jarum jam harus terbuat dari bahan ini, dan harus seukuran ini, kerja sama dan interaksi di antara komponen-komponen itu harus terjalin; jarum jam harus berputar dengan benar, sehingga hasilnya yang berupa penunjukan waktu bisa tercapai dengan tepat dan seterusnya.

Proposisi pertama



Tak seorang pun dapat memungkiri – kecuali para penolak keberadaan Tuhan –, bahwa alam memiliki keteraturan. Keharmonisan dan keteraturan inilah yang menjadi bahan kajian dan telaah ilmu-ilmu empirik. Dengan berkembangnya sains dan ilmu pengetahuan, pentas dan nuansa baru tentang sistem baru alam mulai terkuak. Sekarang ini, jika kita bertanya kepada seorang ilmuwan tentang keteraturan alam, baik ia meyakini Tuhan atau tidak, ia akan menjawab bahwa di dalam alam ini terdapat sebuah sistem menakjubkan nan mempesona, mulai dari kinerja super detail organ-organ tubuh kita, keharmonisan yang terjalin di antara masing-masing organ tubuh dengan organ yang lain atom terkecil dari wujud kita (senyawa) dan kerangkanya yang rumit, sampai pada masing-masing organ-organ tubuh kita (hati, otak, saluran urat nadi), hubungan dan kerja sama erat antara satu dan yang lain, sampai kumpulan besar langit yang kita ketahui, semua berjalan sesuai dengan keteraturan yang detail, sempurna, dan menakjubkan.

Proposisi kedua



Proposisi kedua yang terdapat dalam argumen keteraturan adalah satu hal yang jelas dan diterima oleh semua orang, dan tanpa kita sadar selalu kita gunakan dalam pergaulan kita sehari-hari.



Ketika kita saksikan sebuah bangunan mentereng nan megah, niscaya kita akan berguman bahwa pastilah bangunan ini dibangun oleh insinyur yang profesional dan sangat ahli di bidangnya.



Ketika kita baca Nahjul Balâghah atau Shahîfah Sajjâdiyah, kita dapat menerka dan memahami bahwa kedua kitab tadi adalah hasil karya orang yang memiliki kefasihan, hikmah, ma’rifah, dan pengetahuan tak terhingga.



Dan ketika kita lihat sebuah arloji kecil yang sangat tepat dan apik kerjanya, kita akan memahami bahwa perancangnya adalah seorang spesialis yang sangat tahu tentang kerja arloji dan komponennya.



Apakah dengan kasus-kasus tadi dan ribuan kasus lain, dapat dimungkinkan semua hal yang ada (di dunia ini) terjadi akibat kebetulan saja, dan semua berasal dari non spesialis di bidangnya?



Apakah kita akan mengklaim bahwa kertas yang berisi sebuah kajian ilmiah yang detail, ditulis oleh anak kemarin sore dan tanpa disadari, tangannya bergerak dengan sendirinya dan mengetik kajian detail itu?



Dengan demikian, semua tahu bahwa setiap keteraturan itu pasti memiliki pengatur.

Poin-poin penting

Kemampuan dan kebijakan selalu beriringan dengan keterturan. Artinya, semakin teratur dan detail sebuah benda dan sistem, semakin besar pula keyakinan kita akan kebijakan dan kemampuan pengaturnya.



Dalam argumentasi keteraturan, tidak perlu pembuktian adanya keteraturan di seluruh sejagad raya, tetapi cukup kita ketahui bahwa di dunia ada keteraturan. Dengan kata lain, dari keteraturan yang kita lihat, kita dapat memahami bahwa alam ini memiliki keteraturan, terlepas bagian lain dari alam – yang tidak kita ketahui – memiliki keteraturan ataukah tidak.



Argumen keteraturan menolak asumsi sekelompok ilmuwan yang mengatakan bahwa alam ini lahir dari alam yang tak memiliki perasaan dan akal, serta asumsi bahwa alam ini tercipta akibat gerak dinamis berbagai atom yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.



Semakin ilmu empiris berkembang, akan semakan banyak keteraturan baru yang akan terkuak. Konsekuensinya, hal itu akan mengokohkan argumentasi keteraturan. Karena setiap inovasi dan penyingkapan baru dari sistem alam, akan menambah petunjuk dan tanda-tanda baru keberadaan Tuhan. Dalam pandangan para ilmuwan, seperti yang diungkapkan Hertsel, seorang astronom kenamaan, “Semakin luas sains dan pengetahuan, semakin kuatlah argumen keberadaan Tuhan Yang Azali dan Abadi”.[78]



Al-Qur’an kendati tidak menyebutkan argumentasi wujud Tuhan secara gamblang – karena menurut Al-Qur’an keberadaan Tuhan sebuah hal apriori –, namun tidak jarang Al-Qur’an menyebutkan dan menyinggung bahwa Tuhan tidak memiliki sekutu dan partner dalam urusan penciptaan, pengaturan alam, dan menetapkan bahwa hanya Dialah pengatur segala alam, serta kerap kali disebutkan keharmonisan dan keteraturan alam yang menakjubkan, sekaligus menyeru manusia untuk merenungkannya, karena setiap fenomena yang ada di alam merupakan bukti dan tanda keberadaan-Nya. Di bawah ini kami bawakan ayat yang berkaitan dengan hal itu:





إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ َلآيَاتٍ ِلأًولِي اْلأَلْبَابِ



“Sesungguhnya di dalam Penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi orang-orang yang berakal”.[79]



وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَثْبُتُ مِنْ دَابَّةٍ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ



“Dan di dalam penciptaan kalian serta hewan-hewan melata terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi kaum yang beriman”.[80]



إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

0 komentar:

Posting Komentar

NAMA:
E-MAIL:
KOMENTAR:

urgensi mengenal tuhan

Tanpa melihat dampak praktis individual atau sosial yang muncul dari pengenalan terhadap Tuhan, Asmâ`, dan sifat-sifat mulia-Nya, hal itu merupakan satu hal berharga yang dapat berpengaruh dalam kebahagiaan manusia. Karena kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan yang benar berkenaan dengan Diri-Nya. Manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagaimana mestinya, ia tidak akan mungkin sampai pada kesempurnaannya, bagaimanapun ia berusaha dan beramal saleh.



Pengetahuan yang benar tentang Tuhan merupakan kesempurnaan spiritual tertinggi yang mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.



إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ



“Kepada-Nya membumbung perkataan-perkataan yang baik dan amal yang salehlah yang menaikkan-Nya”. (QS. Fâthir : 10)[2]



Syahid Mutahhari dalam konteks ini menuturkan, “Kemanusiaan menusia terletak pada pengetahuannya tentang Tuhan, karena pengetahuan manusia tidak bisa terpisah dari-Nya, bahkan pengetahuan tersebut merupakan hal termulia dan termurni dalam eksistensi-Nya. Sejauh mana manusia mengetahui eksistensi, sistem, awal dan sumber eksistensi itu, maka terbentuklah kemanusiaannya yang separuh dari substansinya adalah ilmu pengetahuan. Menurut perspektif Islam, khususnya dalam perspektif Syi’ah, tanpa memandang efek praktis dan sosial yang ditimbulkan, mengenal Tuhan merupakan tujuan dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri”.[3]

Tuhan, Siapakah itu?



Siapa wujud yang disebut Allah oleh orang Arab, God oleh orang Barat, dan Khudo oleh orang Persia? Apa sifat-sifat-Nya? Apa hubungannya dengan kita? Bagaimana cara kita berhubungan dengan-Nya? Dan seterusnya.



Dengan memperhatikan sejarah manusia, kita akan dapat memahami bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan telah muncul sejak dahulu kala. Dengan kata lain, sejarah keyakinan terhadap Tuhan muncul seiring dengan keberadaan manusia. Tetapi, hal ini bukan berarti semua orang yang meyakini Tuhan memiliki persepsi dan definisi yang sama.



Polemik dan perbedaan pendapat tentang Tuhan ini sangatlah dahsyat sekali, terlebih di kalangan orang-orang yang mengandalkan akal dan pemikiran pribadi tanpa mendengarkan tuntunan para duta Ilahi. Sebelum kita menjelaskan sifat-sifat Tuhan dalam kaca mata Islam, alangkah baiknya jika kita bandingkan terlebih dahulu konsep Tauhîd dalam Islam dan konsep ke-Tuhanan dan beragama dalam pandangan agama lain. Untuk itu, di sini kami akan bawakan beberapa pandangan para ilmuwan nomor satu dunia mengenai Tuhan.

a. Tuhan Dalam Perspektif Sokrates



Sokrates (399-470) tidak berbeda dengan orang Yunani kebanyakan. Ia meyakini Tuhan yang berbilang. Berdasarkan sejarah filsafat yang dinukil dari karya-karyanya, Sokrates berkeyakinan bahwa manusia tidak butuh lagi bimbingan dan “uluran tangan” Tuhan untuk sampai pada kebahagiaannya. Sokrates juga tidak menyebut sama sekali posisi dan hubungan Tuhan dengan kehidupan manusia, walaupun pada tempat lain ia berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia harus berlandaskan moral dan etika.

b.Tuhan Dalam Perspektif Plato



Plato (348/347-428/427) berasumsi bahwa ada dua eksistensi yang disebut sebagai Tuhan: pertama, kebaikan absolut, dan kedua, Pencipta. Plato beranggapan bahwa kebaikan absolut adalah Tuhan asli atau Tuhan Bapak, sedang Pencipta adalah Tuhan Anak. Menurut keyakinannya, pengetahuan tentang kebaikan absolut sangatlah sulit, bahkan merupakan pengetahuan tersulit yang dapat dicapai. Dua Tuhan ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh para filsuf, di mana mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki keistimewaan spiritual, nalar, dan bahkan fisik. Perlu diingat bahwa bukan sembarang filsuf yang ia maksud. Yang dimaksud adalah hanya para filsuf yang telah menginjak usia 50 tahun yang mampu memahami kebenaran absolut. Sedangkan kelompok lain yang merupakan mayoritas, tidak akan mampu memahami keberadaan-Nya sampai kapanpun.

c. Tuhan Dalam Perspektif Arestoteles



Menurut keyakinan Arestoteles (322/321-384/383), alam senantiasa ada dari sejak dulu kala, dan tidak diciptakan oleh siapa pun. Oleh karenanya, Tuhan versi Arestoteles bukan Pencipta alam, tetapi penggerak alam itu sendiri yang diyakininya sebagai Tuhan; penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Ciri paling dominan yang dimilki oleh Tuhan versi Arestoteles ini adalah ia penggerak dan ia sendiri tak bergerak. Adapun poin penting dalam pengenalan Tuhan dalam perspektif Arestoteles adalah Tuhan tidak layak disembah, dicintai dan dinanti pertolongan-Nya. Tuhan Arestoteles tidak bisa menjawab dan membalas cinta hamba-Nya. Ia tidak memiliki andil sedikitpun dalam setiap tindakan manusia. Ia hanya sibuk memikirkan diri-Nya sendiri.[4]

d. Tuhan Dalam Perspektif Kaum Kristiani Abad Pertengahan



Pada pembahasan faktor-faktor yang membuat orang lari dari agama di Barat, telah kita singgung illustrasi gereja tentang Tuhan. Di sini kita akan tambahkan bahwa pada abad pertengahan, konsep ber-Tuhan adalah salah satu penyebab dari sekian banyak sebab yang berpengaruh dalam kehidupan. Orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan pada era ini selalu berasumsikan bahwa setiap fenomena yang tidak diketahui penyebab aslinya, seperti gerhana matahari dan bulan, mereka larikan semuanya kepada Tuhan dan menganggap Tuhanlah penyebab segalanya.



Kongklusi dari pendapat ini adalah Tuhan hanya bisa diketahui dalam kebodohan mereka, dan secara otomatis, semakin bertambah pengetahuan kita, maka semakin sempitlah ruang lingkup Tuhan, sehingga andaikata pada suatu saat segala tabir yang menutupi manusia tersingkap dan manusia telah memahami faktor naturalis dari berbagai fenomena, niscaya tidak ada tempat lagi bagi Tuhan dalam kehidupannya untuk selamanya.



Berdasarkan persepsi ini, hanya sebagian saja dari eksistensi yang menunjukan keberadaan Tuhan. Eksistensi tersebut adalah eksistensi yang tidak diketahui sebab keberadaan-Nya. August Comte mengatakan, “Ilmu pengetahuan adalah pemisah Tuhan dari kerja-Nya”.[5]



Maksud dari ungkapan ini adalah sampai sekarang manusia berasumsi bahwa sebab dari segala sesuatu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah seperti simbol kekuatan yang dipahami oleh mereka. Tak ubahnya bagaikan tukang sihir yang tanpa pendahuluan apapun sanggup menciptakan sesuatu. Contohnya, jika seseorang sakit kepala, kemudian ia ditanya kenapa kau sakit kepala, jawabannya adalah Tuhan yang menciptakannya. Maksud dari ungkapan ini adalah tidak ada faktor alami yang membuat sakit kepala itu. Sebagai konsekuensinya, ketika dipahami bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh firus ini dan itu, maka Tuhan tidak mendapatkan tempat lagi di dalam benak mereka. Dan begitulah seterusnya, semakin tersingkap sebab-sebab (segala fenomena alam) yang dulunya terselubung, maka pengaruh Tuhan akan semakin sempit dan sempit hingga akhirnya tidak mereka yakini sama sekali.



Pada dasarnya, kelompok yang meyakini Tuhan seperti ini, mereka menganggap Tuhan tak lebih dari bagian alam semata.[6]

e.Tuhan Dalam Perspektif Galileo



Setelah abad pertengahan berlalu dengan mementaskan parade akbar ilmu-ilmu empiris, para ilmuwan yang tentunya memiliki landasan empirik, seperti Galileo (1564-1642), berpandangan lain tentang Tuhan. Ia berpendapat, “Alam adalah kumpulan dari sekian milyard atom yang tak terhingga. Setiap benda tersusun dari atom-atom itu, sedang “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan dan menyediakan atom-atom itu, sehingga ketika alam sudah tercipta berkat Tuhan (sebagai Pencipta atom), ia tidak butuh lagi kepada-Nya, dan berjalan sendiri secara independen”.[7]

f.Tuhan Dalam Perspektif Newton



Newton (1642-1727) menganggap bahwa hubungan Tuhan dan makhluk-Nya seperti hubungan jam dan pembuatnya. Sebagaimana jam bisa berjalan sendiri setelah dirancang dan disusun, alam pun juga demikian setelah diciptakan oleh Tuhan. Secara independen, ia wujud sebagaimana kita lihat sekarang. Newton juga menambahkan satu poin yang menjadi faktor pembeda pendapatnya dengan pendapat Galileo. Ia mengatakan, “Tuhan terkadang turun tangan dalam masalah tertentu. Tuhan juga meluruskan dan menata ketidakteraturan gerak planet-planet, dan mencegah benterokan-benterokan antara bintang satu dengan yang lain”.



Pendapat ini dapat kita katakan sebagai kelanjutan dari pandangan umum yang populer di abad-abad pertengahan yang meyakini Tuhan berada dalam tempat-tempat yang tak diketahui sebabnya. Ketika terungkap bahwa tidak terjadinya bentrokan antara galaksi bukan karena campur tangan langsung dari Tuhan dan sesuai dengan undang-undang ilmiah, maka untuk kesekian kalinya ”kerja” Tuhan kembali menyempit dan terbatas.[8]



Mayoritas ilmuwan yang hidup pada abad ke-17 dan 18 lebih meyakini pendapat Galileo ketimbang yang lain. Keyakinan tersebut, seperti yang kita bawakan sebelumnya, mengatakan, Tuhan menciptakan alam yang – dalam kelanjutannya – tidak membutuhkan lagi kepada Tuhan, seperti sebuah bangunan yang tidak butuh lagi kepada arsitek untuk kelanggengannya.

Ringkasan



1. Kemanusian manusia tergantung pada seberapa banyak pengetahuannya terhadap Tuhan, karena ilmu dan pengetahuan manusia merupakan bagian terpenting dan termulia dari eksistensinya. Mengenal Tuhan juga merupakan tujuan kemanusiaan.



2. Sokrates (399-470 SM.) meyakini adanya beberapa Tuhan, dan manusia untuk sampai pada kebahagiaannya tidak butuh lagi pada petunjuk dan bimbingan Tuhan. Sokrates tidak menjelaskan secara rinci kedudukan Tuhan serta hubungan-Nya dengan kehidupan manusia.





3. Plato (348/7-428 SM.) meyakini adanya dua Tuhan. Namun, hanya para filsuf sajalah yang mampu memahami dan mengenal dua Tuhan tersebut. Itupun setelah melalui beberapa jenjang dan tahapan yang amat padat di usia 50 tahunan. Sedang lapisan masyarakat yang lain, mereka tidak akan dapat mengenal Tuhan untuk selamanya.



4. Arestoteles (322/1-384 SM.) berasumsi bahwa alam itu Qadîm yang tidak diciptakan oleh siapapun. Tuhan versi Arestoteles bukanlah Pencipta alam, akan tetapi Ia hanya penggerak alam. Dalam keyakinannya, Tuhan tidak layak untuk disembah, dicintai, dan tak dapat dinanti pertolongan-Nya, sebab Ia tak mampu menjawab cinta kasih manusia, dan tak dapat melakukan apapun untuk manusia.



5. Kaum Kristiani abad pertengahan memiliki gambaran lain akan Tuhan. Mereka mensejajarkan Tuhan dengan sebab-sebab lain yang berpengaruh dalam kehidupan, dan ketika penyebab sebuah pristiwa tidak mereka ketahui, mereka langsung mengembalikannya kepada Tuhan.



6. Dalam perspektif Galileo, “kerja” Tuhan hanyalah menciptakan atom-atom saja. Dunia, setelah tercipta, tidak lagi membutuhkan Tuhan. Oleh karena itu, ada-tidaknya Tuhan setelah itu tidak berpengaruh sama sekali atas alam. Teori dan pendapat ini banyak dianut oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18-an Masehi.



7. Newton meyakini hubungan Tuhan dan alam seperti hubungan arloji dan pembuatnya. Ia berkeyakinan, sewaktu-waktu Tuhan juga turun tangan untuk mengatur alam. Dan Ia juga mencegah sebagian ketidakteratuan dalam gerak dan perputaran galaksi.

TUHAN DALAM ISLAM

Sekilas Tentang Sifat-Sifat Tuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an



Bisa dikatakan bahwa argumen pokok munculnya Islam adalah penjelasan tentang hakikat Tuhan sebagaimana mestinya.[9] Tidak ada teks dan literarur agama yang selengkap dan sebaik Al-Qur’an dalam memaparkan sifat-sifat Allah SWT. Bahkan agama sebelum Islam pun tak mampu menjelaskannya secara komprehensif. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat Allah SWT dalam bentuk yang paling komplit walaupun dalam batas kemampuan pemahaman dan bahasa manusia.



Menurut Al-Qur’an, Tuhan adalah Maha Luas (rahmat-Nya), Maha Mengetahui,[10] Paling Cepat Menghisab,[11] Maha Hidup, Maha Kekal dan Senantiasa Mengurus Makhluk-Nya,[12] Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Benar (Maha Benar, Tepat dan Pemilik Hakikat)[13], Dzat Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan,[14] Tuhan Yang Tidak Bergantung pada sesuatu yang lain, dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.[15]



Tuhan adalah Maujud sebelum terwujudnya segala sesuatu, dan sekaligus Ia Akhir dari segala sesuatu, Maha Zhâhir dan sekaligus Bâthin.[16]



Tuhan Yang Tinggi (Transedental)[17], artinya Ia lebih tinggi dari segala yang kita tak akan dapat memahami dan menggambarkan sedikitpun hakikat, keindahan, dan keagungan-Nya.[18]



Mata-mata telanjang tak akan mampu melihat-Nya, sedang Ia melihat mata-mata.[19]



Tuhan Yang Tunggal dan Tidak Ada Tuhan Selain-Nya,[20] Ia Esa (Ahad),[21] Ia Satu (Wâhid),[22] dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.[23]



Nama-nama terbaik adalah milik-Nya dan Ia dapat dipanggil dengan nama-nama tersebut.[24]



Ia adalah Raja Dunia yang sejati, Maha Suci dari segala cela, Pemberi selamat, Yang Mengaruniakan keamanan, Maha Pemelihara segala sesuatu, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Yang Pantas Sombong.[25]



Pemilik sifat-Sifat Terbaik.[26] Kemanapun kita arahkan wajah kita, Ia senantiasa berada di sana.[27]



Ia Mengetahui segala sesuatu,[28] dan Kuasa atas segala sesuatu.[29]



Tuhan yang walaupun Maha Agung, Tidak Terbatas, tak memiliki tandingan dan partner, namun Ia lebih dekat kepada manusia dari urat nadi mereka, bahkan Ia mengetahui segala bisikan dalam jiwa manusia.[30]



Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dua sifat ini begitu banyaknya di mana setiap surah Al-Qur’an selalu diawali dengan dua sifat ini “Bismillâhirrahmânirahîm”. Tuhan yang mewajibkan rahmat dan kelembutan bagi diri-Nya.[31]



Tuhan yang Maha Pengampun, Penghapus dosa, Maha Mengampuni, Maha Kuat,[32] Penakluk,[33] Maha Penakluk,[34] Penerima Taubat,[35] Maha Pemberi Anugerah,[36] Maha pencinta,[37] Maha pengasih,[38] Pemilik nikmat,[39] Pemilik rahmat,[40] Maha pengampun,[41] Pemilik keutamaan yang agung.[42]



Ia adalah Tuhan yang mendengar permintaan hamba-Nya sekaligus mengabulkannya,[43] tangan penuh rahmat dan kuasa-Nya senantiasa terbuka lebar, setiap yang diminta, pasti diberikannya, Ia Dzat Pemberi rizki.[44]



Tuhan dalam perspektif Al-Qur’an adalah Tuhan yang Maha Pencipta,[45] Pencipta langit dan bumi.[46] Bahkan lebih tinggi lagi, Ia adalah Pencipta segala sesuatu.[47] Dengan demikian, segala fenomena dan eksistensi yang ada di dunia bergantung dan butuh pada-Nya.



Tuhan, yang di langit sebagai Tuhan dan di bumi sebagai Tuhan pula.[48]



Di mana kita berada, Tuhan selalu bersama kita, dan Ia mengetahui segala perbuatan yang kita kerjakan.[49]



Tuhan dalam Al-Qur’an adalah Rabb (pemilik ikhtiar, raja, pengatur dan pengurus segala sesuatu) dan Tuhan semesta alam.[50]



Ia tak memiliki tandingan dan padanan, baik dalam Penciptaan, pemerintahan,[51] pengaturan,[52] pengadilan,[53] syafa’at,[54] dan kesempurnaan. Setiap bagian dan sempalan kesempurnaan bersumber dan berasal dari-Nya.[55]



Pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab pengenalan terhadap Tuhan. Dari kedalaman dan kedetailan ayat-ayat-Nya sampai-sampai cendekiawan besar manapun tak sanggup untuk mengetahui hakikat dan realita-Nya. Definisi Al-Qur’an tentang Tuhan merupakan definisi terlengkap dan termudah, serta paling komperehensif. Oleh karena itu, Imam Khomeini ra, seorang arif nan bijak, pemikir dan mufassir besar mengatakan, ”Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup selamanya…. Tak ada satu kitab pun yang dapat menjelaskan Tuhan sebagaimana yang dipaparkan olehnya, bahkan dalam kitab-kitab irfânî sekalipun…”.[56]

Ringkasan



1. Tidak ada Satu kitab pun yang mampu mengenalkan Tuhan selain kitab suci Al-Qur’an.



2. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan, dan nama-nama terbaik hanya milik-Nya semata.



3. Ia Tunggal, Satu, dan tiada sesuatu yang sepadan dengan-Nya.



4. Tuhan, kendati Maha agung dan besar, namun Ia lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi mereka, dan di manapun kita arahkan wajah kita, Ia pasti berada di sana.



5. Maha Pemberi Anugerah, Maha Pengasih, dan Tuhan Yang Rahmat-Nya Mengalahkan amarah dan murka-Nya.



6. Tangan-Nya selalu terbuka lebar, pengabul segala do’a, dan pecinta para hamba-Nya.



7. Tuhan Pencipta segala sesuatu dan pengatur segala urusan.



8. Andaikan Al-Qur’an tidak ada, niscaya pintu untuk mengenal Allah akan tertutup untuk selamanya (Imam Khomeini).

TUHAN, WUJUD BADÎHÎ (APRIORI)[57]

Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Kaca Mata Al-Qur’an[58]



Buku-buku filsafat dan Kalâm seringkali dimulai dengan kajian mengenai penetapan keberadaan Tuhan yang dengan berbagai argumentasi berupaya membuktikan bahwa alam ini mempunyai Tuhan dan Ia bukanlah makhluk dan ciptaan siapapun.



Adapun dalam kitab-kitab langit seperti Al-Qur’an, tema tentang Tuhan dijelaskan sangat berbeda. Dalam kitab-kitab suci jarang ditemukan argumentasi secara langsung dalam menetapkan asal keberadaan Tuhan. Seakan-akan keberadaan-Nya adalah suatu hal yang gamblang dan jelas, yang tidak bisa diingkari dan tidak membutuh dalil maupun argumentasi.



Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mîzânnya menegaskan, “Al-Qur’an menganggap keyakinan terhadap Tuhan merupakan permasalahan apriori (badîhî). Dengan artian, meyakini hal itu tidak memerlukan argumentasi. Yang perlu diargumentasikan adalah sifat-sifat-Nya saja, seperti ke-Esaan Tuhan, Penciptaan, ilmu dan kekuasaan-Nya.[59]



Menurut keyakinan mufassir besar ini dalam syi’ar Islam lâ ilâha illalâh– sebagai inti tuntunan Al-Qur’an – yang perlu diargumentasikan adalah sisi negatifnya yang berarti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Adapun “Tuhan itu ada” sama sekali tidak memerlukan agumentasi sedikitpun”.[60]



Logika Al-Qur’an dalam menetapkan eksistensi Tuhan, adalahafillâhi syakk (apakah ada keraguan dalam keberadaan Allah?) [61]

Aprioritas Eksistensi Tuhan Dalam Perspektif Agama Lain



Sebagaimana telah kami terangkan di atas tadi, dalam kitab agama-agama langit yang lain teori semacam ini juga dipakai. A.J. Alberry dalam bukunya ‘Aql va Wahy dar Qur’ân (Akal dan Wahyu Dalam Al-Qur’an) mengatakan, “Di zaman Plato, Yunani menjadi asal muasal di mana penetapan keberadaan Tuhan membutuh argumentasi. Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan masyarakat Barat dalam mencari Tuhan. Tidak ada seorang pun dari penulis kitab Perjanjian Lama (Taurat) yang mengalami kebuntuan dan kejelimetan dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan dan keraguan. Karena bangsa Sâmî (bangsa Arab dan Yahudi) mengenal dan mengetahui Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Hal ini juga terdapat dalam kitab Perjanjian Baru (Injil) kendati terdapat sedikit perbedaan”.[62]



Dari kitab Avesta (kitab suci agama Zoroaster – Pen.) juga bisa dipahami bahwa keberadaan Tuhan adalah sebuah hal yang apriori. Dengan demikian, aprioritas wujud Tuhan bukanlah keyakinan kaum Sâmî semata.



Alhasil, dalam UpaniShâds yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kendati terdapat penjelasan akan pertayaan tentang keberadaan Pencipta,[63] akan tetapi, lebih banyak didapati ungkapan siapa Pencipta itu? Apa sifat-sifat-Nya? Dan jarang ditemukan ungkapan tentang keraguan wujud Tuhan.

Masyarakat Jahiliyah Dan Keyakinan terhadap Tuhan



Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami bahwa keberadaan Tuhan sudah diyakini oleh masyarakat jahiliyah kala itu. Tak terkecuali para penyembah berhala.



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَاْلقَمَرَ لَيْقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ



“Dan jika mereka ditanya, “Siapa Pencipta langit dan bumi, dan siapa yang mengendalikan matahari dan rembulan?, niscaya mereka akan menjawab, “Allah!”, maka betapa mereka dapat dipalingkan dari jalan yang benar”.[64]



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ



“Dan disaat kamu bertanya pada mereka, “Siapakah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Ia menumbuhkan bumi setelah matinya, niscaya mereka akan akan berkata, “Allah!”. Katakanlah segala puji bagi Allah, akan tetapi sebagaian besar dari mereka tidak berakal dan tak berfikir”.[65]



وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ



“Dan ketika kamu bertanya pada mereka, “Siapa yang menciptakan langit-langit dan bumi, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Dzat yang Maha Agung dan Maha mengetahuilah yang menciptakan semuanya”.[66]

Keyakinan Kaum Nuh, ‘Âd, Dan Tsamûd Terhadap Eksistensi Tuhan



Dari beberapa ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya diyakini oleh masyarakat yang hidup sezaman dengan nabi SAWW. Kaum Nuh, ‘Âd, dan Tsamûd, serta kaum-kaum yang hidup setelah mereka, sama sekali tidak berpolemik dengan para nabi zamannya tentang masalah keberadaan Tuhan. Yang mereka pertentangkan adalah ke-Esaan Tuhan, kenabian, dan hari pembalasan. Para penyembah berhala juga demikian. Mereka menerima wujud Tuhan sebagai Pencipta alam, sedang patung dan berhala-berhala itu mereka sembah karena dianggap sebagai manifestasi wujud Tuhan.



Dengan kata lain, mereka menyembah berhala-berhala sebagai sarana dan penolong bagi mereka untuk berdialog dan mendapatkan keinginannya dari Tuhan.



أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَعَادٍ وَثَمُوْدَ وَالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ لاَ يَعْلَمُهُمْ إِلاَّ اللهُ … فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ



“Apakah telah sampai pada kalian kabar tentang kaum sebelum kalian; kaum Nuh, ‘Âd, dan Tsamûd serta generasi setelah mereka yang tidak diketahu kecuali oleh Allah? Para nabi di zaman mereka telah datang dan berusaha mengajak mereka, namun mereka menutup mulut-mulut mereka dengan tangan mereka,[67] dengan suara lantang mereka berkata, ”Kami tidak meyakini risalah dan misi yang kalian bawa dan kami sangat meragukan apa yang kalian serukan kepada kami untuk mempecayainya”.



Para nabi bertanya kepada mereka, “Apakah ada keraguan bahwa ada Pencipta langit dan bumi? Ia menyeru kalian sehingga dosa-dosa kalian terampuni, dan pada waktu yang telah ditentukan Ia telah memberikan tenggang waktu”. Akan tetapi mereka malah mengatakan, ”Tidak, kalian manusia biasa seperti kami, dan kalian ingin memalingkan kami dari apa yang telah disembah oleh para leluhur kami. Oleh karena itu, paling tidak berikan kami dalil yang lebih jelas lagi”.



Para nabi berkata, ”Memang kami manusia biasa seperti kalian, namun Tuhan telah memberikan nikmat-Nya pada hamba-Nya yang memiliki keinginan, dan misi ini sama sekali bukan ikhtiar kami sendiri untuk menjelaskan pada kalian, tetapi berkat izin Allah. Dan para Mukmin hanya bertawakkal kepada-Nya. Kemudian, kenapa tidak pasrahkan pada-Nya, padahal Ia telah menunjukkan jalan bagi kita? Kami tabah akan siksaan yang kalian lancarkan pada kami, dan orang-orang yang pasrah hanya bertawakal pada Allah”.



Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, lebih menitikberatkan pada satu poin bahwa keraguan para penyembah berhala tidak tertuju pada konteks wujud Tuhan. Akan tetapi, mengenai ke-Esaan-Nya, risalah (kenabian), dan hari kebangkitan. Bahkan jika dicermati lebih dalam lagi, penggalan ayat yang mengatakan fâthiris samâwâti wal ardh juga dalam konteks pemberian argumentasi tentang ke-Esaan Tuhan, bukan mengenai wujud dan keberadaan-Nya.[68]



Thabarsî dalam tafsir Majma’ul Bayân dan Sayyid Qutub dalam Fî Zhilâlil Qur’annya serta sekelompok mufassir yang lain juga berpendapat yang sama, bahwa pengingkaran para penyembah berhala itu tertuju pada konteks ke-Esaan Tuhan, bukan wujud-Nya.

Ringkasan



1. Dalam kitab-kitab langit, seperti Al-Qur’an, keberadaan wujud Tuhan merupakan hal yang telah diterima (oleh semua) dan amat gamblang sehingga tidak perlu diragukan dan diargumentasikan lagi.



2. Seperti dikatakan oleh sebagaian penulis Barat, tidak ada seorang pun penulis kitab Taurat dan Injil yang mengalami kerancuan dalam keberadaan Tuhan, dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu diargumentasikan. Hal serupa juga dapat kita jumpai dalam Avesta dan kitab-kitab suci agama yang lain.



3. Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat memahami kalau masyarakat yang hidup sezaman dengan Nabi, tak terkecuali para penyembah berhala, telah meyakini wujud Tuhan.



4. Dari berbagai ayat Al-Qur’an juga dapat dipahami bahwa keyakinan akan wujud Tuhan juga telah diyakini oleh kaum Nuh, kaum ‘Âd, kaum Tsamûd, dan kaum-kaum lain setelah mereka. Polemik dan pertentangan yang digalang oleh mereka hanya berkisar pada ke-Esaan (Tauhîd), kenabian (Nubuwwah), dan hari kebangkitan (Ma’ad).

FITRAH DAN TUHAN



Dari ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat meyimpulkan beberapa poin penting berikut ini:



1. Keyakinan akan wujud Tuhan.



2. Kecenderungan untuk ber-Tuhan.



3. Kecenderungan untuk menyembah-Nya merupakan hal fitri. Artinya, hal itu sudah ada dalam diri manusia.



Sebelum kita bawakan ayat-ayat yang memuat pon-poin di atas, alangkah baiknya jika kita sebutkan beberapa proposisi lazim berikut ini:

Arti Linguistik Fitrah



Fitrah yang bermakna robek dari sisi panjang, diambil dari akar kata فطر Kemudian, semua yang terbelah dan terkoyak disebut fitrah. Ciptaan disebut juga demikan, sebab wujud dan keberadaan telah merobek alam kegelapan dan ketiadaan yang membungkusnya. Makna ini adalah arti paling populer dari kata fitrah, sebagaimana inovasi dan kreasi baru juga bisa dipahami dari kata ini.



Fitrah yang mengikuti wazan fi’lah berarti nau’ (kualitas dan cara). Oleh karena itu, secara linguistik fitrah bermakna sebuah sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia artinya ciptaan khusus yang tersimpan dalam diri manusia.[69]



Kata fitrah ini juga pertama kali dipakai oleh Al-Qur’an dalam kaitannya dengan manusia, dan sebelumnya tidak pernah ada pemakaian kata fitrah seperti ini.[70]

Fitrah Dalam Al-Qur’an



Al-Qur’an banyak sekali memakai kata fitrah dan musytaqnya, seperti berikut:



- فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[71].



- فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ[72].



- فَطَرَنَا[73].



- فَطَرَنِي[74].



- فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضَ[75].



ِِِِAdapun arti dari penggalan ayat-ayat di atas adalah berbeda-beda. Ada yang bermakna ciptaan, maujud, dan sebagainya. Futhûr dalam ayat ke-8 surah Al-Mulk bermakna belahan, sedangkan Munfathirdalam ayat ke-18 surah Al-Muzzammil berarti sesuatu yang terbelah.



Sedangkan kata fitrah sendiri hanya sekali dibawakan oleh Al-Qur’an. Itu pun dengan dinisbatkan kepada Allah (Fithratallâh), dan hanya dikhususkan pada manusia (fatharan nâsa alaihâ). Kata itu terdapat dalam ayat 30 surah Ar-Rûm.



Ayat inilah yang menjadi sumber munculnya terminologi fitrah dalam Islam dan mengilhami para filsuf, cendekiawan, dan kaum arif dalam mengkaji ma’rifatullâh dan ma’rifatul insân.

Fitrah Ilahi Manusia



Setiap aliran yang mengklaim bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan manusia bisa dicapai dengan mengamalkan segala tuntunannya, lazimnya memiliki pandangan dan definisi tersendiri mengenai manusia, yang pada akhirnya, berdasarkan definisi dan pemahaman tersebut, mereka dapat menentukan jalan dan kiat untuk sampai padanya.



Dalam Islam, pandangan dan kajian tentang manusia yang termuat di dalam Al-Qur’an atau dalam riwayat para ma’shûm as tidak bisa dihitung jumlahnya. Begitu banyaknya kajian dan analisa berkenaan hal itu, membahasnya akan banyak memakan waktu dan memunculkan buku-buku yang sangat tebal.[76]



Kata terbaik untuk mengungkap dan mengekspresikan pandangan Islam tentang manusia adalah istilah fitrah. Dengan demikian, bisa dikatakan teori Islam dalam menganalisa dan menyelami wujud manusia adalah teori fitrah.

Penjelasan Global Tentang Teori Fitrah



Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisik. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah kecenderungan-kecenderungan dan pengetahuan-pengetahuan khusus.





Kecenderungan yang berada dalam diri manusia itu sebagian berhubungan dengan bagian hewani, dan sebagian lagi berhubungan dengan kemanusiannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan kelompok kedua (kecenderungan manusiawi), dan tidak berhubungan sama sekali dengan insting kebinatangan mereka, seperti insting seksualitas.





Kecenderungan-kecenderungan inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan-kecenderungan tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.





Kecenderungan ini adalah spesies manusia. Artinya, kecenderungan itu tidak terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Kecenderungan itu dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun.





Kecenderungan ini potensial sifatnya. Dengan kata lain, ia dimiliki oleh setiap manusia. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia.





Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Tapi sebaliknya, jika kecenderungan itu mati yang secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam.





Sebagaimana telah kita katakan tadi, fitrah manusia terkadang masuk dalam kategori persepsi dan pengetahuan, terkadang masuk dalam kategori kecenderungan dan keinginan. Ekstemporal primer (badihiyât awwaliyah) yang dibahas dalam ilmu logika, merupakan bagian dari pengetahuan-pengetahuan fitri manusia. Sedangkan hal-hal, seperti rasa ingin tahu, cinta keutamaan, dan cinta kecantikan dan keelokan adalah bagian dari kecenderungan-kecenderungan fitrah manusia.



Mengenal Dan Menyembah Tuhan Adalah Hal Fitri



Dari ajaran Al-Qur’an bisa kita pahami bahwa mengenal Tuhan dan kecenderungan ber-Tuhan merupakan sebuah hal yang fitri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan “Tuhan Wujud Aprior bagi Semua”, keyakinan akan wujud Tuhan adalah sebuah “kesepakatan” dan bukan hal samar yang terselubung sehingga memerlukan argumentasi untuk membuktikannya. Dari pembahasan itu kita bisa memahami arti mengenal Tuhan adalah fitri.



Salah satu ayat yang mengidikasikan hal tersebut adalah ayat ke 30 surah Ar-Rûm.



فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِْيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ



Ayat ini dengan gamblang menegaskan bahwa agama adalah hal yang fitri. Dalam menjelaskan arti dari “agama” (dîn) yang terdapat dalam ayat di atas, para mufassir terbagi ke dalam dua kelompok:



a. Kelompok pertama berpendapat bahwa maksud dari agama (dîn) tersebut adalah sekumpulan ajaran, hukum yang berlandaskan ke-Islaman. Berdasarkan pendapat ini, semua yang terdapat dalam agama – dimana tuntunan terbaiknya berupa pengenalan dan penghambaan terhadap Tuhan – adalah bersifat fitri dan tersimpan dalam setiap diri manusia. Allâmah Thabathabai, salah satu dari sekian banyak mufassirîn yang meyakini pendapat ini.



b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dari agama yang sesuai dengan fitrah adalah kondisi pasrah dan tunduk secara murni di hadapan Tuhan. Karena tunduk dan taat sepenuhnya atas perintah Tuhan merupakan inti dari agama.



إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ



Berdasarkan pendapat ini, maksud dari naluri beragama adalah sebuah fitrah )kecenderungan( untuk menyembah Tuhan sudah ada dari dulu dalam jiwa manusia. Dan jelas, ketika kita katakan penyembahan terhadap Tuhan suatu yang fitri, maka pengenalan tentang-Nya pun harus fitri juga. Karena bagaimana mungkin secara fitrah kita menyembah Tuhan, di saat kita tidak mengenal-Nya (secara fitri)?

Ringkasan



1. Ayat-ayat Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, kecenderungan untuk ber-Tuhan dan naluri untuk menyembah-Nya adalah hal yang fitri.



2. Salah satu arti kata fathara adalah penciptaan, sedangkan fitrah secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.



3. Kata fitrah hanya sekali disebutkan dalam Al-Qur’an (Ar-Rûm : 30), itupun dengan bentuk penisbatan kepada Allah, dan khusus bagi manusia.



4.Perspektif Islam tentang manusia dapat dijelaskan melalui teori fitrah.



5.Berdasarkan teori fitrah:



Manusia sesuai dengan tabiat ciptaannya yang pertama, memiliki bentuk khusus, dan sudah sejak awal memiliki pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan khusus.





Fitrah Ilahi manusia hanya berkaitan dengan kelompok kecenderungan-kecenderungan khusus insani, bukan kecenderungan yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan.





Pengertian dan kecenderungan fitrah manusia merupakan faktor pembeda antara manusia dan hewan.





Kecenderungan fitri dimiliki oleh setiap individu manusia.





Kecenderungan tersebut tersimpan dalam diri manusia dan potensial sifatnya, di mana tumbuh dan berkembangnya tergantung pada setiap usaha masing-masing individu.





Apabila manusia dapat memupuk dan mengembangkan kecenderungan itu, ia akan lebih utama dari pada malaikat, dan sebaliknya, andaikan kecenderungan potensial ini gersang dan mati, niscaya ia akan lebih rendah dari posisi hewan.





Badihiyât awaliyah(apriori primer) termasuk pengetahuan fitrah, sedang rasa ingin tahu, rasa ingin unggul dari yang lain, rasa cinta keindahan termasuk kecenderungan-kecenderungan fitriyah.





6. Sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, mengenal Tuhan dan naluri ber-Tuhan adalah hal yang bersifat fitri.



7. Maksud dari dîn dalam ayat fitrah (Ar-Rûm : 30) bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahannya adalah hal yang bersifat fitri.

ARGUMENTASI KETERATURAN



Telah kami jelaskan bahwa wujud Tuhan adalah hal yang jelas. Dan keyakinan itu termasuk fitrah manusia. Artinya keyakinan ini muncul dari lubuk hati manusia. Akan tapi, hal ini bukan berarti tidak ada argumen dan dalil untuk membuktikan-Nya.[77] Ada beberapa argumentasi yang sudah pernah muncul di sepanjang sejarah.



Salah satu dari argumentasi tersimpel dan tergamblang adalah argumentasi keteratuaran. Argumen ini memiliki dua proposisi:



a. Ada sebuah sistem harmonis dan teratur dalam dunia ini.



b. Setiap sesuatu yang harmonis dan teratur pasti memiliki pengatur. Dengan demikian, keteraturan dan keharmonisan alam memiliki pengatur.



Pemahaman kandungan argumentasi ini sangatlah mudah. Setiap manusia, orang buta huruf sekalipun, mampu memahaminya, dan keberadaan Tuhan sebagai pengatur akan dapat dipahami dengan mengamati efek dan dampak keteraturan alam. Akan tetapi, untuk memahaminya lebih dalam lagi, terlebih dahulu kita harus menjelaskan definisi keteraturan itu dan sedikit menjelaskan mengenai dua proposisi di atas.

Definisi keteraturan



Keteraturan adalah berkumpulnya bagian-bagian beragam dalam sebuah tatanan dengan kualitas dan kuantitas khusus, yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan tertentu.



Seperti sebuah jam. Kita katakan sebagai sebuah benda yang teratur, karena di sana didapati berbagai komponen-komponen yang memiliki kualitas dan kuantitas tersendiri. Artinya, jarum jam harus terbuat dari bahan ini, dan harus seukuran ini, kerja sama dan interaksi di antara komponen-komponen itu harus terjalin; jarum jam harus berputar dengan benar, sehingga hasilnya yang berupa penunjukan waktu bisa tercapai dengan tepat dan seterusnya.

Proposisi pertama



Tak seorang pun dapat memungkiri – kecuali para penolak keberadaan Tuhan –, bahwa alam memiliki keteraturan. Keharmonisan dan keteraturan inilah yang menjadi bahan kajian dan telaah ilmu-ilmu empirik. Dengan berkembangnya sains dan ilmu pengetahuan, pentas dan nuansa baru tentang sistem baru alam mulai terkuak. Sekarang ini, jika kita bertanya kepada seorang ilmuwan tentang keteraturan alam, baik ia meyakini Tuhan atau tidak, ia akan menjawab bahwa di dalam alam ini terdapat sebuah sistem menakjubkan nan mempesona, mulai dari kinerja super detail organ-organ tubuh kita, keharmonisan yang terjalin di antara masing-masing organ tubuh dengan organ yang lain atom terkecil dari wujud kita (senyawa) dan kerangkanya yang rumit, sampai pada masing-masing organ-organ tubuh kita (hati, otak, saluran urat nadi), hubungan dan kerja sama erat antara satu dan yang lain, sampai kumpulan besar langit yang kita ketahui, semua berjalan sesuai dengan keteraturan yang detail, sempurna, dan menakjubkan.

Proposisi kedua



Proposisi kedua yang terdapat dalam argumen keteraturan adalah satu hal yang jelas dan diterima oleh semua orang, dan tanpa kita sadar selalu kita gunakan dalam pergaulan kita sehari-hari.



Ketika kita saksikan sebuah bangunan mentereng nan megah, niscaya kita akan berguman bahwa pastilah bangunan ini dibangun oleh insinyur yang profesional dan sangat ahli di bidangnya.



Ketika kita baca Nahjul Balâghah atau Shahîfah Sajjâdiyah, kita dapat menerka dan memahami bahwa kedua kitab tadi adalah hasil karya orang yang memiliki kefasihan, hikmah, ma’rifah, dan pengetahuan tak terhingga.



Dan ketika kita lihat sebuah arloji kecil yang sangat tepat dan apik kerjanya, kita akan memahami bahwa perancangnya adalah seorang spesialis yang sangat tahu tentang kerja arloji dan komponennya.



Apakah dengan kasus-kasus tadi dan ribuan kasus lain, dapat dimungkinkan semua hal yang ada (di dunia ini) terjadi akibat kebetulan saja, dan semua berasal dari non spesialis di bidangnya?



Apakah kita akan mengklaim bahwa kertas yang berisi sebuah kajian ilmiah yang detail, ditulis oleh anak kemarin sore dan tanpa disadari, tangannya bergerak dengan sendirinya dan mengetik kajian detail itu?



Dengan demikian, semua tahu bahwa setiap keteraturan itu pasti memiliki pengatur.

Poin-poin penting

Kemampuan dan kebijakan selalu beriringan dengan keterturan. Artinya, semakin teratur dan detail sebuah benda dan sistem, semakin besar pula keyakinan kita akan kebijakan dan kemampuan pengaturnya.



Dalam argumentasi keteraturan, tidak perlu pembuktian adanya keteraturan di seluruh sejagad raya, tetapi cukup kita ketahui bahwa di dunia ada keteraturan. Dengan kata lain, dari keteraturan yang kita lihat, kita dapat memahami bahwa alam ini memiliki keteraturan, terlepas bagian lain dari alam – yang tidak kita ketahui – memiliki keteraturan ataukah tidak.



Argumen keteraturan menolak asumsi sekelompok ilmuwan yang mengatakan bahwa alam ini lahir dari alam yang tak memiliki perasaan dan akal, serta asumsi bahwa alam ini tercipta akibat gerak dinamis berbagai atom yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.



Semakin ilmu empiris berkembang, akan semakan banyak keteraturan baru yang akan terkuak. Konsekuensinya, hal itu akan mengokohkan argumentasi keteraturan. Karena setiap inovasi dan penyingkapan baru dari sistem alam, akan menambah petunjuk dan tanda-tanda baru keberadaan Tuhan. Dalam pandangan para ilmuwan, seperti yang diungkapkan Hertsel, seorang astronom kenamaan, “Semakin luas sains dan pengetahuan, semakin kuatlah argumen keberadaan Tuhan Yang Azali dan Abadi”.[78]



Al-Qur’an kendati tidak menyebutkan argumentasi wujud Tuhan secara gamblang – karena menurut Al-Qur’an keberadaan Tuhan sebuah hal apriori –, namun tidak jarang Al-Qur’an menyebutkan dan menyinggung bahwa Tuhan tidak memiliki sekutu dan partner dalam urusan penciptaan, pengaturan alam, dan menetapkan bahwa hanya Dialah pengatur segala alam, serta kerap kali disebutkan keharmonisan dan keteraturan alam yang menakjubkan, sekaligus menyeru manusia untuk merenungkannya, karena setiap fenomena yang ada di alam merupakan bukti dan tanda keberadaan-Nya. Di bawah ini kami bawakan ayat yang berkaitan dengan hal itu:





إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ َلآيَاتٍ ِلأًولِي اْلأَلْبَابِ



“Sesungguhnya di dalam Penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi orang-orang yang berakal”.[79]



وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَثْبُتُ مِنْ دَابَّةٍ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ



“Dan di dalam penciptaan kalian serta hewan-hewan melata terdapat tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi kaum yang beriman”.[80]



إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَى بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

NAMA:
E-MAIL:
KOMENTAR: