PROBLEMATIKA GENERASI MUDA DAN OTONOMI DAERAH
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, merupakan berkah bagi bangsa Indonesia karena gerakan ini telah membawa perubahan yang berarti bagi demokrasi di negara Indonesia. Salah satu kebijakan penting yang dilahirkan dari rahim era reformasi adalah dikeluarkannya kembali kebijakan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Secara legal formal, kebijakan tersebut mulai berjalan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan pemerintah ini dapat dianggap sebagai gerbang yang mengembalikan peran dan otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena diskursus tentang hal ini sudah ada seiring dengan berdirinya republik ini. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah, yang kemudian menjadi inspirasi dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah di Indonesia. Namun demikian, tema tentang otonomi daerah tetap menjadi kajian yang aktual dan memiliki relevansinya dengan kondisi bangsa hari ini.
Secara teoritis, penerapan asas desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah. Dengan diberlakukannya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan diharapkan mampu menghasilkan pemerintahan daerah yang akuntabel, transparan dan responsif. Hakekat dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah mampu mengelola secara optimal potensi-potensi lokal sehingga dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan dapat berperanserta dalam menentukan kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat setempat.
Sampai saat ini upaya meretas jalan menuju penerapan otonomi daerah bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menimbulkan kegamangan. Hal ini dapat dilihat dari belum terwujudnya berbagai hal penting dari tujuan diterapkannya otonomi daerah, seperti upaya penguatan perekonomian rakyat. Faktor ini semakin menemukan masalah karena dalam kenyataannya kekuatan swasta di NTT masih sangat rapuh. Kondisi ini berbanding terbalik dengan populasi generasi muda (baca: pencari kerja) di NTT yang begitu lumayan banyak. Lemahnya upaya pemerintah menghadirkan program penguatan ekonomi rakyat di satu sisi dan minimnya swasta yang berupaya menciptakan lapangan kerja disisi yang lain telah menyebabkan keberadaan pegawai negeri sipil sebagai satu-satunya lahan yang diperebutkan untuk mendongkrak ekonomi keluarga. Sekitar 80.000 pemuda di NTT yang berasal dari berbagai tingkat pendidikan harus berjuang keras untuk merebut sekitar 800 lowongan pegawai negeri sipil pada awal tahun 2005.
Kenyataan ini sungguh ironis karena sesungguhnya NTT juga mempunyai sumber daya alam yang potensial tapi belum secara maksimal dikembangkan. Dunia pertanian dan kekayaan laut yang begitu besar sampai saat ini masih dikelola secara tradisional. Potensi yang ada tersebut belum menggugah kaum muda terutama tamatan sarjana agar berpikir kreatif untuk mengembangkannya menjadi lahan penguatan ekonomi rakyat sekaligus dapat membuka lapangan kerja. Apalagi saat ini sektor bisnis swasta di NTT belum berkembang dengan baik. Dua problematika ini sesungguhnya telah menyebabkan meningkatnya pengangguran di NTT. Apalagi pengangguran para sarjana dari berbagai disiplin ilmu juga terus bertambah setiap tahun dengan berbagai persoalannya.
Bagi propinsi kaya, kehadiran otonomi daerah tentu disambut dengan gegap gempita karena memiliki penghasilan yang begitu tinggi. Tetapi bagi NTT, propinsi yang terbilang miskin di tanah air ini, kesiapan untuk berotonomi tampaknya masih dalam taraf wacana. Banyak pihak meragukan kesiapan NTT memasuki era otonomi daerah. Keraguan itu disebabkan oleh berbagai persoalan, selain seperti telah dijelaskan diatas, problem lain yang juga dihadapi NTT adalah lemahnya sumber daya manusia serta manajemen pemerintahan yang dirasakan masih dikelola dengan semangat primordialisme. Semangat ini konon lahir dari kandungan kualitas aparat yang berorientasi merebut kue kecil di birokrasi (Kompas, 21 Maret 2001). Secara sosial tampak ada kecenderungan kuat para sarjana baru di NTT lebih suka memilih menjadi pegawai negeri sipil ketimbang menciptakan lapangan kerja.
Kemiskinan, yang akrab dengan NTT membuat banyak orang membuat anekdot tentang propinsi ini. Sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar NTT dijadikan singkatan “Nasib Tak Tentu, Nasib Tambah Terang, Nanti Tuhan Tolong, Ngalor-ngidul Tidak Tentu, Numpang Tanda Tangan, Negeri Tidak Tentram”, dan masih banyak lagi bentuk pelesetan yang akhirnya hanya memberi kesan begitu kental tentang betapa terbelakangnya daerah ini dalam hampir semua aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, Pius Rengka sebagai pengamat sosial dan pemerhati otonomi di NTT menilai, sesungguhnya banyak aparat di NTT yang mampu membuat program pembangunan, hanya saja program yang dibuat tersebut cenderung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri. Program itu didesain sedemikian rupa untuk memenuhi dua kepuasan sekaligus. Pertama, untuk menyenangkan dan menyelaraskan dengan keinginan program Jakarta. Dan kedua, untuk kepentingan lokal, khususnya kesejahteraan aparatur. Karena itu, desain program bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau melayani kepentingan masyarakat, tetapi dirancang untuk melayani kepentingan birokrasi itu sendiri. (Kompas, 21 Maret 2001).
Realitas itu membuat NTT semakin terbelenggu dengan kemiskinan. Dr Deno Kamelus memaparkan, keadaan penduduk miskin di NTT pada Juli 1999 tercatat 567.591 kepala keluarga (KK). Jika setiap keluarga terdiri atas lima orang, berarti jumlah penduduk miskin di daerah ini sekitar 2,83 juta jiwa atau 78,2 persen dari 3,62 juta jiwa penduduk NTT. Tidak hanya miskin harta, penduduk NTT terbilang miskin pendidikan. Kamelus mengungkapkan, 81,04 persen penduduk NTT hanya berpendidikan SD, bahkan tak tamat, 8,67 persen berpendidikan SLTP, 8,64 persen berpendidikan SLTA, dan hanya 1,65 persen menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (Kompas, 21 Maret 2001).
Kondisi obyektif ini membuat banyak pihak di NTT merasa sangat was-was menghadapi otonomi. Tetapi, siap atau tidak siap, otonomi daerah harus diterima, bahkan menjadi harapan baru untuk memperkenalkan paradigma baru, yakni suatu model pelayanan publik yang bersifat desentralistik. Jika paradigma lama yang sentralistik menghasilkan pembelengguan sosial yang ditandai dengan menjamurnya KKN yang mengakibatkan kemiskinan kian terstruktur di NTT, dengan paradigma baru yang desentralisasi diharapkan sebagai antithesa yang menghasilkan pembebasan sosial yang memungkinkan belenggu rantai kemiskinan dapat lepas dari leher kehidupan masyarakat NTT.
Namun, untuk mencapai semua itu tidaklah mudah. Pius Rengka menyimpan sejumlah pertanyaan untuk mencapai itu. Apakah perubahan paradigma itu bisa mengubah perilaku budaya birokrasi ? Apakah elite birokrat rela membuang kebiasaan lama dan masuk ruang era baru memperbaharui diri ? Apakah dengan perubahan paradigma serta merta mengubah daya kritis aparatur ? Apakah dengan Otonomi Daerah, aparatur tiba-tiba kritis, kreatif, dan mengubah wataknya secara mendasar? (Kompas, 21 Maret 2001). Fase ini tentunya harus melalui sebuah fase transisi budaya yang diharapkan di ujung sana ada otonomi individu. Jika individu-individu sudah berotonomi, maka sekelompok warga pun bisa berotonomi. Jika sekelompok masyarakat berotonomi maka peran negara akhirnya tidak sekadar subsidium.
Berangkat dari realitas di atas, penulis menawarkan dua hal penting yang harus segera diperjuangkan di NTT, yaitu: pertama, mendorong pemerintah daerah agar lebih peka terhadap realitas yang terjadi serta lebih apreseatif terhadap berbagai tuntutan perubahan. Oleh karenanya mulai saat ini pemerintah daerah di wilayah NTT harus sudah mulai mendesain program-program pemberdayaan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga dengan demikian masyarakat juga akan mulai terlibat secara langsung dalam pembangunan di daerah. Karena salah satu hal penting yang harus juga diperjuangkan setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah mendorong munculnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan saat ini keterlibatan masyarakat dalam pengertian yang sesungguhnya belum terwujud di hampir setiap daerah di NTT. Secara teoritik, ada dua asumsi dasar di balik makna penting keterlibatan masyarakat, yaitu: masyarakat lebih mengerti tentang apa yang terbaik buat mereka dan masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang secara pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan kata lain, kebijakan publik dalam era otonomi daerah terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada segelintir orang (pejabat pemerintah dan wakil rakyat) tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Kepada para generasi muda, terutama para sarjana dari berbagai disiplin ilmu perlu merumuskan langkahnya agar turut serta membangun gagasan-gagasan briliyan untuk pembangunan daerah NTT, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini harus dimulai dari kekuatan-kekuatan Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP), seperti PMKRI, GMKI, HMI, IPNU, PMII, IMM, GP Anshor dan Fatayat NU, KNPI dan lain sebagainya yang ada di NTT agar mulai mendorong setiap aktivitasnya ke arah pemberdayaan generasi muda agar turut serta menyelesaikan problemnya sendiri. Kegiatan pemberdayaan generasi muda dalam konteks ini, terkait erat dengan memberdayakan masyarakat pada umumnya karena di samping untuk memerangi kesenjangan sosial yang ada, seperti kemiskinan, juga untuk mendorong masyarakat menjadi lebih aktif dan penuh inisiatif. Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa ketika inisiatif tentang pembangunan tersebut hanya datang dari pihak pemerintah dan tidak pernah diletakkan pada masyarakat, perjalanan pembangunan selalu diwarnai oleh berbagai bentuk monopoli dan manipulasi.
Pembangunan yang diwarnai monopoli dan manipulasi pada gilirannya akan melemahkan masyarakat. Karenanya, dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif sesuai dengan semangat otonomi daerah, perlu dibarengi dengan penciptaan iklim yang partisipatif sekaligus kondusif dalam pelaksanaan pembangunan. Untuk menciptakan iklim yang demikian, penerapan (implementasi) good governance dalam pembangunan daerah merupakan pra-syarat utama agar pembangunan yang dilaksanakan dapat mencapai target yang dicita-citakan, yakni menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dengan demikian, pembangunan harus dilakukan secara terencana dan sistematis dengan melibatkan partisipasi masyarakat terutama generasi muda. Pembangunan di NTT harus dimaknai sebagai proses perbaikan, peningkatan dan perubahan atau pembentukan kualitas masyarakat sipil yang kuat (civil society), yaitu masyarakat yang bermoral, berilmu, bermartabat, egaliter, demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan tanggungjawab pada masyarakat sekaligus peningkatan kualitas kemandirian masyarakat NTT dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara teoretis, masyarakat sipil yang kuat berhubungan dengan prinsip good governance yang merupakan sebuah mental programming dari sebuah pemerintahan, yaitu cara berpikir, berperasaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang timbul dari suatu proses penyesuaian dengan lingkungan eksternal dan internal, yaitu masyarakat dengan pemerintah. Prinsip-prinsip good governance berbasis pada prinsip fairness, transparancy, accountability dan responsibility serta profesionalisme dan efisiensi. Jika sebuah pemerintahan tidak mengadaptasi prinsip-prinsip di atas, bisa dipastikan bahwa pemerintahan itu bersifat manipulatif dan cenderung memonopoli kehidupan masyarakat.
Desentralisasi merupakan salah satu new strategy untuk menghadapi era new game yang penuh dengan new rules di millenium ketiga nanti. Dengan desentralisasi diharapkan akan mampu menghasilkan pemerintah daerah otonom yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsif secara berkesinambungan. Arahan seperti ini adalah keharusan karena dengan model pemerintah seperti inilah pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuru tanah air dapat dilaksanakan. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dalam menentukan cara-caranya sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini dibutuhkan moralitas segenap elemen di NTT untuk turut serta mensukseskan kebijakan baru ini, yang kita yakni bersama akan membawa perubahan secara signifikan bila dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, moralitas harus dimulai dengan kesediaan kita semua untuk bertindak adil. Bertindak adil berarti memperlakukan semua orang dengan cara yang sama dan dalam kondisi yang sama pula. Selain itu keadilan menuntut agar ketidak-adilan harus segera ditiadakan. Keadilan masyarakat adalah keadilan yang berlakunya tergantung proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti struktur ekonomi, politik, sosial-budaya,dan ideologi dalam masyarakat. Mengusahakan masyarakat yang berkeadilan berarti mengubah untuk sebagian atau seluruhnya struktur-struktur ekonomis, politik, sosial-budaya dan ideologis yang menyebabkan sebagian besar orang tidak memperoleh apa yang seharusnya menjadi haknya.
Mengusahakan keadilan masyarakat, sebagian merupakan tugas pemerintah kabupaten dan kota di wilayah NTT karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah di wilyah NTT tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap struktur-struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya NTT. Namun karena keadilan hanya dapat diusahakan dengan membongkar struktur-struktur tersebut yang berarti mengancam kepentingan pemerintah, maka keadilan masyarakat harus pula diupayakan oleh civil siciety, komunitas non negara. Oleh karena itu keadilan harus diupayakan sendiri oleh mereka yang menderita ketidakadilan atau mereka yang menyadari ketidakadilan sebagai musuh.
12.25.2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pemuda dan otonami
PROBLEMATIKA GENERASI MUDA DAN OTONOMI DAERAH
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, merupakan berkah bagi bangsa Indonesia karena gerakan ini telah membawa perubahan yang berarti bagi demokrasi di negara Indonesia. Salah satu kebijakan penting yang dilahirkan dari rahim era reformasi adalah dikeluarkannya kembali kebijakan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Secara legal formal, kebijakan tersebut mulai berjalan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan pemerintah ini dapat dianggap sebagai gerbang yang mengembalikan peran dan otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena diskursus tentang hal ini sudah ada seiring dengan berdirinya republik ini. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah, yang kemudian menjadi inspirasi dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah di Indonesia. Namun demikian, tema tentang otonomi daerah tetap menjadi kajian yang aktual dan memiliki relevansinya dengan kondisi bangsa hari ini.
Secara teoritis, penerapan asas desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah. Dengan diberlakukannya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan diharapkan mampu menghasilkan pemerintahan daerah yang akuntabel, transparan dan responsif. Hakekat dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah mampu mengelola secara optimal potensi-potensi lokal sehingga dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan dapat berperanserta dalam menentukan kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat setempat.
Sampai saat ini upaya meretas jalan menuju penerapan otonomi daerah bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menimbulkan kegamangan. Hal ini dapat dilihat dari belum terwujudnya berbagai hal penting dari tujuan diterapkannya otonomi daerah, seperti upaya penguatan perekonomian rakyat. Faktor ini semakin menemukan masalah karena dalam kenyataannya kekuatan swasta di NTT masih sangat rapuh. Kondisi ini berbanding terbalik dengan populasi generasi muda (baca: pencari kerja) di NTT yang begitu lumayan banyak. Lemahnya upaya pemerintah menghadirkan program penguatan ekonomi rakyat di satu sisi dan minimnya swasta yang berupaya menciptakan lapangan kerja disisi yang lain telah menyebabkan keberadaan pegawai negeri sipil sebagai satu-satunya lahan yang diperebutkan untuk mendongkrak ekonomi keluarga. Sekitar 80.000 pemuda di NTT yang berasal dari berbagai tingkat pendidikan harus berjuang keras untuk merebut sekitar 800 lowongan pegawai negeri sipil pada awal tahun 2005.
Kenyataan ini sungguh ironis karena sesungguhnya NTT juga mempunyai sumber daya alam yang potensial tapi belum secara maksimal dikembangkan. Dunia pertanian dan kekayaan laut yang begitu besar sampai saat ini masih dikelola secara tradisional. Potensi yang ada tersebut belum menggugah kaum muda terutama tamatan sarjana agar berpikir kreatif untuk mengembangkannya menjadi lahan penguatan ekonomi rakyat sekaligus dapat membuka lapangan kerja. Apalagi saat ini sektor bisnis swasta di NTT belum berkembang dengan baik. Dua problematika ini sesungguhnya telah menyebabkan meningkatnya pengangguran di NTT. Apalagi pengangguran para sarjana dari berbagai disiplin ilmu juga terus bertambah setiap tahun dengan berbagai persoalannya.
Bagi propinsi kaya, kehadiran otonomi daerah tentu disambut dengan gegap gempita karena memiliki penghasilan yang begitu tinggi. Tetapi bagi NTT, propinsi yang terbilang miskin di tanah air ini, kesiapan untuk berotonomi tampaknya masih dalam taraf wacana. Banyak pihak meragukan kesiapan NTT memasuki era otonomi daerah. Keraguan itu disebabkan oleh berbagai persoalan, selain seperti telah dijelaskan diatas, problem lain yang juga dihadapi NTT adalah lemahnya sumber daya manusia serta manajemen pemerintahan yang dirasakan masih dikelola dengan semangat primordialisme. Semangat ini konon lahir dari kandungan kualitas aparat yang berorientasi merebut kue kecil di birokrasi (Kompas, 21 Maret 2001). Secara sosial tampak ada kecenderungan kuat para sarjana baru di NTT lebih suka memilih menjadi pegawai negeri sipil ketimbang menciptakan lapangan kerja.
Kemiskinan, yang akrab dengan NTT membuat banyak orang membuat anekdot tentang propinsi ini. Sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar NTT dijadikan singkatan “Nasib Tak Tentu, Nasib Tambah Terang, Nanti Tuhan Tolong, Ngalor-ngidul Tidak Tentu, Numpang Tanda Tangan, Negeri Tidak Tentram”, dan masih banyak lagi bentuk pelesetan yang akhirnya hanya memberi kesan begitu kental tentang betapa terbelakangnya daerah ini dalam hampir semua aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, Pius Rengka sebagai pengamat sosial dan pemerhati otonomi di NTT menilai, sesungguhnya banyak aparat di NTT yang mampu membuat program pembangunan, hanya saja program yang dibuat tersebut cenderung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri. Program itu didesain sedemikian rupa untuk memenuhi dua kepuasan sekaligus. Pertama, untuk menyenangkan dan menyelaraskan dengan keinginan program Jakarta. Dan kedua, untuk kepentingan lokal, khususnya kesejahteraan aparatur. Karena itu, desain program bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau melayani kepentingan masyarakat, tetapi dirancang untuk melayani kepentingan birokrasi itu sendiri. (Kompas, 21 Maret 2001).
Realitas itu membuat NTT semakin terbelenggu dengan kemiskinan. Dr Deno Kamelus memaparkan, keadaan penduduk miskin di NTT pada Juli 1999 tercatat 567.591 kepala keluarga (KK). Jika setiap keluarga terdiri atas lima orang, berarti jumlah penduduk miskin di daerah ini sekitar 2,83 juta jiwa atau 78,2 persen dari 3,62 juta jiwa penduduk NTT. Tidak hanya miskin harta, penduduk NTT terbilang miskin pendidikan. Kamelus mengungkapkan, 81,04 persen penduduk NTT hanya berpendidikan SD, bahkan tak tamat, 8,67 persen berpendidikan SLTP, 8,64 persen berpendidikan SLTA, dan hanya 1,65 persen menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (Kompas, 21 Maret 2001).
Kondisi obyektif ini membuat banyak pihak di NTT merasa sangat was-was menghadapi otonomi. Tetapi, siap atau tidak siap, otonomi daerah harus diterima, bahkan menjadi harapan baru untuk memperkenalkan paradigma baru, yakni suatu model pelayanan publik yang bersifat desentralistik. Jika paradigma lama yang sentralistik menghasilkan pembelengguan sosial yang ditandai dengan menjamurnya KKN yang mengakibatkan kemiskinan kian terstruktur di NTT, dengan paradigma baru yang desentralisasi diharapkan sebagai antithesa yang menghasilkan pembebasan sosial yang memungkinkan belenggu rantai kemiskinan dapat lepas dari leher kehidupan masyarakat NTT.
Namun, untuk mencapai semua itu tidaklah mudah. Pius Rengka menyimpan sejumlah pertanyaan untuk mencapai itu. Apakah perubahan paradigma itu bisa mengubah perilaku budaya birokrasi ? Apakah elite birokrat rela membuang kebiasaan lama dan masuk ruang era baru memperbaharui diri ? Apakah dengan perubahan paradigma serta merta mengubah daya kritis aparatur ? Apakah dengan Otonomi Daerah, aparatur tiba-tiba kritis, kreatif, dan mengubah wataknya secara mendasar? (Kompas, 21 Maret 2001). Fase ini tentunya harus melalui sebuah fase transisi budaya yang diharapkan di ujung sana ada otonomi individu. Jika individu-individu sudah berotonomi, maka sekelompok warga pun bisa berotonomi. Jika sekelompok masyarakat berotonomi maka peran negara akhirnya tidak sekadar subsidium.
Berangkat dari realitas di atas, penulis menawarkan dua hal penting yang harus segera diperjuangkan di NTT, yaitu: pertama, mendorong pemerintah daerah agar lebih peka terhadap realitas yang terjadi serta lebih apreseatif terhadap berbagai tuntutan perubahan. Oleh karenanya mulai saat ini pemerintah daerah di wilayah NTT harus sudah mulai mendesain program-program pemberdayaan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga dengan demikian masyarakat juga akan mulai terlibat secara langsung dalam pembangunan di daerah. Karena salah satu hal penting yang harus juga diperjuangkan setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah mendorong munculnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan saat ini keterlibatan masyarakat dalam pengertian yang sesungguhnya belum terwujud di hampir setiap daerah di NTT. Secara teoritik, ada dua asumsi dasar di balik makna penting keterlibatan masyarakat, yaitu: masyarakat lebih mengerti tentang apa yang terbaik buat mereka dan masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang secara pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan kata lain, kebijakan publik dalam era otonomi daerah terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada segelintir orang (pejabat pemerintah dan wakil rakyat) tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Kepada para generasi muda, terutama para sarjana dari berbagai disiplin ilmu perlu merumuskan langkahnya agar turut serta membangun gagasan-gagasan briliyan untuk pembangunan daerah NTT, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini harus dimulai dari kekuatan-kekuatan Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP), seperti PMKRI, GMKI, HMI, IPNU, PMII, IMM, GP Anshor dan Fatayat NU, KNPI dan lain sebagainya yang ada di NTT agar mulai mendorong setiap aktivitasnya ke arah pemberdayaan generasi muda agar turut serta menyelesaikan problemnya sendiri. Kegiatan pemberdayaan generasi muda dalam konteks ini, terkait erat dengan memberdayakan masyarakat pada umumnya karena di samping untuk memerangi kesenjangan sosial yang ada, seperti kemiskinan, juga untuk mendorong masyarakat menjadi lebih aktif dan penuh inisiatif. Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa ketika inisiatif tentang pembangunan tersebut hanya datang dari pihak pemerintah dan tidak pernah diletakkan pada masyarakat, perjalanan pembangunan selalu diwarnai oleh berbagai bentuk monopoli dan manipulasi.
Pembangunan yang diwarnai monopoli dan manipulasi pada gilirannya akan melemahkan masyarakat. Karenanya, dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif sesuai dengan semangat otonomi daerah, perlu dibarengi dengan penciptaan iklim yang partisipatif sekaligus kondusif dalam pelaksanaan pembangunan. Untuk menciptakan iklim yang demikian, penerapan (implementasi) good governance dalam pembangunan daerah merupakan pra-syarat utama agar pembangunan yang dilaksanakan dapat mencapai target yang dicita-citakan, yakni menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dengan demikian, pembangunan harus dilakukan secara terencana dan sistematis dengan melibatkan partisipasi masyarakat terutama generasi muda. Pembangunan di NTT harus dimaknai sebagai proses perbaikan, peningkatan dan perubahan atau pembentukan kualitas masyarakat sipil yang kuat (civil society), yaitu masyarakat yang bermoral, berilmu, bermartabat, egaliter, demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan tanggungjawab pada masyarakat sekaligus peningkatan kualitas kemandirian masyarakat NTT dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara teoretis, masyarakat sipil yang kuat berhubungan dengan prinsip good governance yang merupakan sebuah mental programming dari sebuah pemerintahan, yaitu cara berpikir, berperasaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang timbul dari suatu proses penyesuaian dengan lingkungan eksternal dan internal, yaitu masyarakat dengan pemerintah. Prinsip-prinsip good governance berbasis pada prinsip fairness, transparancy, accountability dan responsibility serta profesionalisme dan efisiensi. Jika sebuah pemerintahan tidak mengadaptasi prinsip-prinsip di atas, bisa dipastikan bahwa pemerintahan itu bersifat manipulatif dan cenderung memonopoli kehidupan masyarakat.
Desentralisasi merupakan salah satu new strategy untuk menghadapi era new game yang penuh dengan new rules di millenium ketiga nanti. Dengan desentralisasi diharapkan akan mampu menghasilkan pemerintah daerah otonom yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsif secara berkesinambungan. Arahan seperti ini adalah keharusan karena dengan model pemerintah seperti inilah pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuru tanah air dapat dilaksanakan. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dalam menentukan cara-caranya sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini dibutuhkan moralitas segenap elemen di NTT untuk turut serta mensukseskan kebijakan baru ini, yang kita yakni bersama akan membawa perubahan secara signifikan bila dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, moralitas harus dimulai dengan kesediaan kita semua untuk bertindak adil. Bertindak adil berarti memperlakukan semua orang dengan cara yang sama dan dalam kondisi yang sama pula. Selain itu keadilan menuntut agar ketidak-adilan harus segera ditiadakan. Keadilan masyarakat adalah keadilan yang berlakunya tergantung proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti struktur ekonomi, politik, sosial-budaya,dan ideologi dalam masyarakat. Mengusahakan masyarakat yang berkeadilan berarti mengubah untuk sebagian atau seluruhnya struktur-struktur ekonomis, politik, sosial-budaya dan ideologis yang menyebabkan sebagian besar orang tidak memperoleh apa yang seharusnya menjadi haknya.
Mengusahakan keadilan masyarakat, sebagian merupakan tugas pemerintah kabupaten dan kota di wilayah NTT karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah di wilyah NTT tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap struktur-struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya NTT. Namun karena keadilan hanya dapat diusahakan dengan membongkar struktur-struktur tersebut yang berarti mengancam kepentingan pemerintah, maka keadilan masyarakat harus pula diupayakan oleh civil siciety, komunitas non negara. Oleh karena itu keadilan harus diupayakan sendiri oleh mereka yang menderita ketidakadilan atau mereka yang menyadari ketidakadilan sebagai musuh.
Gerakan reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, merupakan berkah bagi bangsa Indonesia karena gerakan ini telah membawa perubahan yang berarti bagi demokrasi di negara Indonesia. Salah satu kebijakan penting yang dilahirkan dari rahim era reformasi adalah dikeluarkannya kembali kebijakan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Secara legal formal, kebijakan tersebut mulai berjalan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan pemerintah ini dapat dianggap sebagai gerbang yang mengembalikan peran dan otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena diskursus tentang hal ini sudah ada seiring dengan berdirinya republik ini. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah, yang kemudian menjadi inspirasi dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah di Indonesia. Namun demikian, tema tentang otonomi daerah tetap menjadi kajian yang aktual dan memiliki relevansinya dengan kondisi bangsa hari ini.
Secara teoritis, penerapan asas desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah. Dengan diberlakukannya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan diharapkan mampu menghasilkan pemerintahan daerah yang akuntabel, transparan dan responsif. Hakekat dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah mampu mengelola secara optimal potensi-potensi lokal sehingga dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan dapat berperanserta dalam menentukan kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat setempat.
Sampai saat ini upaya meretas jalan menuju penerapan otonomi daerah bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menimbulkan kegamangan. Hal ini dapat dilihat dari belum terwujudnya berbagai hal penting dari tujuan diterapkannya otonomi daerah, seperti upaya penguatan perekonomian rakyat. Faktor ini semakin menemukan masalah karena dalam kenyataannya kekuatan swasta di NTT masih sangat rapuh. Kondisi ini berbanding terbalik dengan populasi generasi muda (baca: pencari kerja) di NTT yang begitu lumayan banyak. Lemahnya upaya pemerintah menghadirkan program penguatan ekonomi rakyat di satu sisi dan minimnya swasta yang berupaya menciptakan lapangan kerja disisi yang lain telah menyebabkan keberadaan pegawai negeri sipil sebagai satu-satunya lahan yang diperebutkan untuk mendongkrak ekonomi keluarga. Sekitar 80.000 pemuda di NTT yang berasal dari berbagai tingkat pendidikan harus berjuang keras untuk merebut sekitar 800 lowongan pegawai negeri sipil pada awal tahun 2005.
Kenyataan ini sungguh ironis karena sesungguhnya NTT juga mempunyai sumber daya alam yang potensial tapi belum secara maksimal dikembangkan. Dunia pertanian dan kekayaan laut yang begitu besar sampai saat ini masih dikelola secara tradisional. Potensi yang ada tersebut belum menggugah kaum muda terutama tamatan sarjana agar berpikir kreatif untuk mengembangkannya menjadi lahan penguatan ekonomi rakyat sekaligus dapat membuka lapangan kerja. Apalagi saat ini sektor bisnis swasta di NTT belum berkembang dengan baik. Dua problematika ini sesungguhnya telah menyebabkan meningkatnya pengangguran di NTT. Apalagi pengangguran para sarjana dari berbagai disiplin ilmu juga terus bertambah setiap tahun dengan berbagai persoalannya.
Bagi propinsi kaya, kehadiran otonomi daerah tentu disambut dengan gegap gempita karena memiliki penghasilan yang begitu tinggi. Tetapi bagi NTT, propinsi yang terbilang miskin di tanah air ini, kesiapan untuk berotonomi tampaknya masih dalam taraf wacana. Banyak pihak meragukan kesiapan NTT memasuki era otonomi daerah. Keraguan itu disebabkan oleh berbagai persoalan, selain seperti telah dijelaskan diatas, problem lain yang juga dihadapi NTT adalah lemahnya sumber daya manusia serta manajemen pemerintahan yang dirasakan masih dikelola dengan semangat primordialisme. Semangat ini konon lahir dari kandungan kualitas aparat yang berorientasi merebut kue kecil di birokrasi (Kompas, 21 Maret 2001). Secara sosial tampak ada kecenderungan kuat para sarjana baru di NTT lebih suka memilih menjadi pegawai negeri sipil ketimbang menciptakan lapangan kerja.
Kemiskinan, yang akrab dengan NTT membuat banyak orang membuat anekdot tentang propinsi ini. Sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar NTT dijadikan singkatan “Nasib Tak Tentu, Nasib Tambah Terang, Nanti Tuhan Tolong, Ngalor-ngidul Tidak Tentu, Numpang Tanda Tangan, Negeri Tidak Tentram”, dan masih banyak lagi bentuk pelesetan yang akhirnya hanya memberi kesan begitu kental tentang betapa terbelakangnya daerah ini dalam hampir semua aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, Pius Rengka sebagai pengamat sosial dan pemerhati otonomi di NTT menilai, sesungguhnya banyak aparat di NTT yang mampu membuat program pembangunan, hanya saja program yang dibuat tersebut cenderung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri. Program itu didesain sedemikian rupa untuk memenuhi dua kepuasan sekaligus. Pertama, untuk menyenangkan dan menyelaraskan dengan keinginan program Jakarta. Dan kedua, untuk kepentingan lokal, khususnya kesejahteraan aparatur. Karena itu, desain program bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau melayani kepentingan masyarakat, tetapi dirancang untuk melayani kepentingan birokrasi itu sendiri. (Kompas, 21 Maret 2001).
Realitas itu membuat NTT semakin terbelenggu dengan kemiskinan. Dr Deno Kamelus memaparkan, keadaan penduduk miskin di NTT pada Juli 1999 tercatat 567.591 kepala keluarga (KK). Jika setiap keluarga terdiri atas lima orang, berarti jumlah penduduk miskin di daerah ini sekitar 2,83 juta jiwa atau 78,2 persen dari 3,62 juta jiwa penduduk NTT. Tidak hanya miskin harta, penduduk NTT terbilang miskin pendidikan. Kamelus mengungkapkan, 81,04 persen penduduk NTT hanya berpendidikan SD, bahkan tak tamat, 8,67 persen berpendidikan SLTP, 8,64 persen berpendidikan SLTA, dan hanya 1,65 persen menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (Kompas, 21 Maret 2001).
Kondisi obyektif ini membuat banyak pihak di NTT merasa sangat was-was menghadapi otonomi. Tetapi, siap atau tidak siap, otonomi daerah harus diterima, bahkan menjadi harapan baru untuk memperkenalkan paradigma baru, yakni suatu model pelayanan publik yang bersifat desentralistik. Jika paradigma lama yang sentralistik menghasilkan pembelengguan sosial yang ditandai dengan menjamurnya KKN yang mengakibatkan kemiskinan kian terstruktur di NTT, dengan paradigma baru yang desentralisasi diharapkan sebagai antithesa yang menghasilkan pembebasan sosial yang memungkinkan belenggu rantai kemiskinan dapat lepas dari leher kehidupan masyarakat NTT.
Namun, untuk mencapai semua itu tidaklah mudah. Pius Rengka menyimpan sejumlah pertanyaan untuk mencapai itu. Apakah perubahan paradigma itu bisa mengubah perilaku budaya birokrasi ? Apakah elite birokrat rela membuang kebiasaan lama dan masuk ruang era baru memperbaharui diri ? Apakah dengan perubahan paradigma serta merta mengubah daya kritis aparatur ? Apakah dengan Otonomi Daerah, aparatur tiba-tiba kritis, kreatif, dan mengubah wataknya secara mendasar? (Kompas, 21 Maret 2001). Fase ini tentunya harus melalui sebuah fase transisi budaya yang diharapkan di ujung sana ada otonomi individu. Jika individu-individu sudah berotonomi, maka sekelompok warga pun bisa berotonomi. Jika sekelompok masyarakat berotonomi maka peran negara akhirnya tidak sekadar subsidium.
Berangkat dari realitas di atas, penulis menawarkan dua hal penting yang harus segera diperjuangkan di NTT, yaitu: pertama, mendorong pemerintah daerah agar lebih peka terhadap realitas yang terjadi serta lebih apreseatif terhadap berbagai tuntutan perubahan. Oleh karenanya mulai saat ini pemerintah daerah di wilayah NTT harus sudah mulai mendesain program-program pemberdayaan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga dengan demikian masyarakat juga akan mulai terlibat secara langsung dalam pembangunan di daerah. Karena salah satu hal penting yang harus juga diperjuangkan setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah mendorong munculnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan saat ini keterlibatan masyarakat dalam pengertian yang sesungguhnya belum terwujud di hampir setiap daerah di NTT. Secara teoritik, ada dua asumsi dasar di balik makna penting keterlibatan masyarakat, yaitu: masyarakat lebih mengerti tentang apa yang terbaik buat mereka dan masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang secara pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan kata lain, kebijakan publik dalam era otonomi daerah terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada segelintir orang (pejabat pemerintah dan wakil rakyat) tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Kepada para generasi muda, terutama para sarjana dari berbagai disiplin ilmu perlu merumuskan langkahnya agar turut serta membangun gagasan-gagasan briliyan untuk pembangunan daerah NTT, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini harus dimulai dari kekuatan-kekuatan Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP), seperti PMKRI, GMKI, HMI, IPNU, PMII, IMM, GP Anshor dan Fatayat NU, KNPI dan lain sebagainya yang ada di NTT agar mulai mendorong setiap aktivitasnya ke arah pemberdayaan generasi muda agar turut serta menyelesaikan problemnya sendiri. Kegiatan pemberdayaan generasi muda dalam konteks ini, terkait erat dengan memberdayakan masyarakat pada umumnya karena di samping untuk memerangi kesenjangan sosial yang ada, seperti kemiskinan, juga untuk mendorong masyarakat menjadi lebih aktif dan penuh inisiatif. Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa ketika inisiatif tentang pembangunan tersebut hanya datang dari pihak pemerintah dan tidak pernah diletakkan pada masyarakat, perjalanan pembangunan selalu diwarnai oleh berbagai bentuk monopoli dan manipulasi.
Pembangunan yang diwarnai monopoli dan manipulasi pada gilirannya akan melemahkan masyarakat. Karenanya, dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif sesuai dengan semangat otonomi daerah, perlu dibarengi dengan penciptaan iklim yang partisipatif sekaligus kondusif dalam pelaksanaan pembangunan. Untuk menciptakan iklim yang demikian, penerapan (implementasi) good governance dalam pembangunan daerah merupakan pra-syarat utama agar pembangunan yang dilaksanakan dapat mencapai target yang dicita-citakan, yakni menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dengan demikian, pembangunan harus dilakukan secara terencana dan sistematis dengan melibatkan partisipasi masyarakat terutama generasi muda. Pembangunan di NTT harus dimaknai sebagai proses perbaikan, peningkatan dan perubahan atau pembentukan kualitas masyarakat sipil yang kuat (civil society), yaitu masyarakat yang bermoral, berilmu, bermartabat, egaliter, demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan tanggungjawab pada masyarakat sekaligus peningkatan kualitas kemandirian masyarakat NTT dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara teoretis, masyarakat sipil yang kuat berhubungan dengan prinsip good governance yang merupakan sebuah mental programming dari sebuah pemerintahan, yaitu cara berpikir, berperasaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang timbul dari suatu proses penyesuaian dengan lingkungan eksternal dan internal, yaitu masyarakat dengan pemerintah. Prinsip-prinsip good governance berbasis pada prinsip fairness, transparancy, accountability dan responsibility serta profesionalisme dan efisiensi. Jika sebuah pemerintahan tidak mengadaptasi prinsip-prinsip di atas, bisa dipastikan bahwa pemerintahan itu bersifat manipulatif dan cenderung memonopoli kehidupan masyarakat.
Desentralisasi merupakan salah satu new strategy untuk menghadapi era new game yang penuh dengan new rules di millenium ketiga nanti. Dengan desentralisasi diharapkan akan mampu menghasilkan pemerintah daerah otonom yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsif secara berkesinambungan. Arahan seperti ini adalah keharusan karena dengan model pemerintah seperti inilah pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuru tanah air dapat dilaksanakan. Di sisi yang lain kebijakan desentralisasi akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dalam menentukan cara-caranya sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini dibutuhkan moralitas segenap elemen di NTT untuk turut serta mensukseskan kebijakan baru ini, yang kita yakni bersama akan membawa perubahan secara signifikan bila dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, moralitas harus dimulai dengan kesediaan kita semua untuk bertindak adil. Bertindak adil berarti memperlakukan semua orang dengan cara yang sama dan dalam kondisi yang sama pula. Selain itu keadilan menuntut agar ketidak-adilan harus segera ditiadakan. Keadilan masyarakat adalah keadilan yang berlakunya tergantung proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat seperti struktur ekonomi, politik, sosial-budaya,dan ideologi dalam masyarakat. Mengusahakan masyarakat yang berkeadilan berarti mengubah untuk sebagian atau seluruhnya struktur-struktur ekonomis, politik, sosial-budaya dan ideologis yang menyebabkan sebagian besar orang tidak memperoleh apa yang seharusnya menjadi haknya.
Mengusahakan keadilan masyarakat, sebagian merupakan tugas pemerintah kabupaten dan kota di wilayah NTT karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah di wilyah NTT tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap struktur-struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya NTT. Namun karena keadilan hanya dapat diusahakan dengan membongkar struktur-struktur tersebut yang berarti mengancam kepentingan pemerintah, maka keadilan masyarakat harus pula diupayakan oleh civil siciety, komunitas non negara. Oleh karena itu keadilan harus diupayakan sendiri oleh mereka yang menderita ketidakadilan atau mereka yang menyadari ketidakadilan sebagai musuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
NAMA:
E-MAIL:
KOMENTAR: