12.19.2008

pemanasa global

Global warning

Saat ini masyarakat dunia diresahkan oleh suatu kenyataan yang sulit untuk dihindari. Kenyataan yang dianggapnya sebagai malaikat maut yang akan mencabut nyawa mereka, atau Isrofil yang akan meniupkan sangkakala sebagai isyarat berahirnya kehidupan dan hancurnya alam semesta. Kenyataan itulah yang disebut dengan Global Warning.

Mungkin kita sebagi mahasiswa yang berkecimung dalam bidang agama kurang begitu paham akan isu ini, sehingga menganggapnya sebagai suatu gejala alami biasa yang tidak akan ada pengaruhnya bagi kelangsungan hidup kita. Padahal dalam majalah Online People Weekly World (2007) para peneliti mengungkapkan keresahan mereka dengan kalimat ‘Global warming means dark future’ (Pemanasan global membawa masa depan yang suram). Sementara kita hanya tenang-tenang saja dan tak pernah hawatir kalau bumi yang kita huni ini terancam hancur dan musnah.

Secara kasarnya Global Warming adalah pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya kadar emisi CO2 yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil (Minyak Bumi, batu bara dll) yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan limbah pabrik. Efek yang ditimbulkannya adalah perubahan iklim (Climate Change) yang akan semakin memanas hingga mampu melelehkan lapisan es di berbagai wilayah dunia.

Pada bulan Januari 2002 Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC) sebuah lembaga international di bawah PBB telah melakukan penelitian yang bertajuk “global warming”, hasilnya mereka menyatakan bahwa suhu atmosfir bumi diperkirakan akan meningkat mencapai 10.4 derajat Fahrenheit dalam jangka 100 tahun kedepan. Ini artinya telah terjadi pemanasan yang lebih intens jika dibanding dengan efek pemanasan serupa yang terjadi seabad yang lalu.

Dua tahun kemudian (2005) IPCC melakuakan penelitian kembali, hasilnya terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia relative lebih tinggi, yaitu 10. selain itu ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 % dan terjadi pelelehan Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis.

Dalam kontek ke Indonesiaan, sejak tahun 70-an Indonesia sudah beralih dari negara agraris ke negara industri, kemuadian dari negara industri beralih ke negara industri berteknologi komunikasi-informasi. Sejak itulah sawah dan ladang di sulap menjadi industri-industri dan gedung pencakar langit yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem karena polusi udara dan air limbah. Kemudian diperparah lagi dengan terjadinya penebangan liar dan kebakaran hutan. Sehingga hilanglah fungsi hutan yang merupakan paru-paru dunia.

Maka sebagai akibatnya, hingga hari ini dampak dari gejala global warming sudah mulai terasa dinegri kita—sebagimana dikabarkan oleh Verena Puspawardhani seorang koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang dari musim hujan sehingga menyebabkan panen gagal. Selain itu terjadi peningkatan kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah Kemudian diperkirakan pada 2070 sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut..

Konsekwensi dari Kemajuan
Penemuan teknologi di Barat punya pengaruh besar terhadap perkembangan industri di berbagai belahan dunia. Sejak itulah setiap negara berlomba-lomba untuk mengembangkan drinya menjadi negara maju melalui proses industrialisasi. Dan negara-negara yang sudah terbilang maju pun meng-alokasikan industri mereka ke negara-negara berkembang sebagai bentuk pemasaran. Hingga menyebarlah industri-industri di setiap penjuru dunia.

Maka kalau kita akumulasikan hasil pembakaran gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) dalam skala global akan kita ketahui bahwa ada sekitar miliaran ton dalam setiap tahun gas rumah kaca itu di semburkan ke atsmosfir. Akibatnya, sinar matahari yang tiba ke permukaan bumi tak leluasa dipancarkan kembali ke ruang angkasa. kemudian panas tersebut terperangkap dekat permukaan bumi, sehingga menghasilkan gejala sebagaimana halnya di rumah kaca yang digunakan untuk menyemaikan tanaman. Dan gejala inilah yang melelehkan lapisan es di berbagai wilayah dunia, khususnya benua antartika.

Jelasnya tidak bisa kita pungkiri bahwa gejal Global Warming merupakan suatu konsekwensi dari kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin hari semakin pesat. Jadi mau tidak mau kita sebagai manusia yang hidup di zaman ini akan menjadi ‘mangsa’-nya.

Bagaimana Solusinya?
Keresahan itu mengetuk hati para pemimpin Negara- Negara di dunia untuk berkumpul membicarakan secara serius masalah ini. Perkumpulalan itu dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto-Jepang dan melahirkan Protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 84 negara. Dalam Protokolat ini negagra-negara industri maju diwajibkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 5,5%. Namun anehnya Amerika Serikat sebagai negara termaju saat ini, dengan angkuh menolak untuk menandatangani. Padahal AS adalah negara terbesar penghasil gas CO2. Alasan mereka sangat licik sekali “karena dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, itu berarti dapat mengurangi incame Negara”.

Disamping itu Negara-negara maju berupaya meminimalisir pemanasan global itu dengan pengembangan teknologi. Misalnya Di Jerman trend yang sedang marak diterapkan adalah disain rumah yang disebut Rumah Pasif. Artinya rumah ini menggunakan enerji kecil (ketika panas, tak membutuhkan AC, ketika dingin membutuhkan pemanas kecil). Atau ditemukannya mobil dengan penggunaan tenaga surya, tidak dengan bahan bakar fosil.

Selain itu Uni Eropa telah mengeluarkan beberapa kesepakatan dalam mengurangi CO2, antara lain:
- memperbanyak jalur sepeda dan pejalan kaki
- mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
- memberi label jumlah CO2 yang dihasilkan pada produk makanan
- menghisap CO2 dan menyimpannya di dalam tanah… tentunya dgn teknologi …
- meningkatkan penggunaan energi nuklir, gas bumi, energi angin dll

Hingga minggu kemarin (12 Desember 2007), PBB menggelar konferensi di Bali membahas masalah ini. Namum ‘Hasil Konferensi Bali Hanya Catatan Kaki’ saja, hal ini dilihat dari banyaknya kalangan yang menyesalkannya, karena mereka konferensi ini tidak mencantumkan target pengurangan emisi sebesar 25-40 persen pada 2020. Hingga konferensi Bali ditutup, jelasnya, AS dan Cina tidak menyepakati besaran target pengurangan emisi 25-40 persen pada 2020. Padahal, dua negara tersebut merupakan penyumbang emisi terbesar di dunia. PM Australia, Kevin Rudd, mengatakan dunia telah mengambil langkah berani. Namun, dia mengingatkan masih banyak hal yang harus dilakukan. ”Ini tanggung jawab kita semua untuk melakukan langkah lebih lanjut.” (lihat Republika :senin 17/12/07)

Namun Islam sebagai agama yang relevan dengan kemajuan, sejak 14 abad yang lalu telah memberikan manhaj (konsep) kepada manusia modern dalam menangani masalah global worming. Konsep yang didasarkan pada pesan-pesan robbani yang lebih nyata kebenaranya dari pada konsep dalam Protocol Kyoto yang merupakan buah pemikiran manusia. Diantara konsep itu adalah:

1. Membudayakan hemat energi.

“Maka makanlah dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sessungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang suka berlebihan”(Qs.Al A’rof : 31)
2. Gunakan produk ramah lingkungan

“….Dan janganlahkamu jerumuskan dirimu kepada hal yang akan membinasakanmu…….”(QS. Albaqoroh : 195)
3. Buang sampah pada tempatnya

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh: “Saya bertanya kepada Rsulullah Wahgai Rasullah ajarkanlah aku sesuatu yang dengannya Allah SWT memberikan manfaat kepadaku! Rasulullahpun berkata “Lihatlah terhadap apa yang mendatangkan bahaya bagi manusia, kemudian buanglah dari jalan mereka (yang membahayakan itu)”
4. Gunakan kendaraan ramah lingkungan

(QS. Albaqoroh : 195)

5. Memberantas penebangan hutan secara liar.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya….”(Qs. Al A’rof : 56)

Oleh karena itu kita sebagai masyarakat yang berpandangan hidup Islam, berkewajiban untuk meyakinkan mayarakat dunia bahawa segala kerusakan yang terjadi di alam, apapun bentuknya, yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan juga makhluk lainya, satu-satunya solusi adalah kembali ke manhaj robbani. Artinya kita harus menataati segala konsep yang telah digariskan oleh Sang Pencipta didalam Al Quran dan As Sunnah rasulullah SAW. Wallahu A’lam bis Showwab.
Tags: peradaban islam
Prev: Ibnu ‘Arobi dan Wihdatul Adyan
Next: Kata Orang Mesir tentang Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

NAMA:
E-MAIL:
KOMENTAR:

pemanasa global

Global warning

Saat ini masyarakat dunia diresahkan oleh suatu kenyataan yang sulit untuk dihindari. Kenyataan yang dianggapnya sebagai malaikat maut yang akan mencabut nyawa mereka, atau Isrofil yang akan meniupkan sangkakala sebagai isyarat berahirnya kehidupan dan hancurnya alam semesta. Kenyataan itulah yang disebut dengan Global Warning.

Mungkin kita sebagi mahasiswa yang berkecimung dalam bidang agama kurang begitu paham akan isu ini, sehingga menganggapnya sebagai suatu gejala alami biasa yang tidak akan ada pengaruhnya bagi kelangsungan hidup kita. Padahal dalam majalah Online People Weekly World (2007) para peneliti mengungkapkan keresahan mereka dengan kalimat ‘Global warming means dark future’ (Pemanasan global membawa masa depan yang suram). Sementara kita hanya tenang-tenang saja dan tak pernah hawatir kalau bumi yang kita huni ini terancam hancur dan musnah.

Secara kasarnya Global Warming adalah pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya kadar emisi CO2 yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil (Minyak Bumi, batu bara dll) yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan limbah pabrik. Efek yang ditimbulkannya adalah perubahan iklim (Climate Change) yang akan semakin memanas hingga mampu melelehkan lapisan es di berbagai wilayah dunia.

Pada bulan Januari 2002 Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC) sebuah lembaga international di bawah PBB telah melakukan penelitian yang bertajuk “global warming”, hasilnya mereka menyatakan bahwa suhu atmosfir bumi diperkirakan akan meningkat mencapai 10.4 derajat Fahrenheit dalam jangka 100 tahun kedepan. Ini artinya telah terjadi pemanasan yang lebih intens jika dibanding dengan efek pemanasan serupa yang terjadi seabad yang lalu.

Dua tahun kemudian (2005) IPCC melakuakan penelitian kembali, hasilnya terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia relative lebih tinggi, yaitu 10. selain itu ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 % dan terjadi pelelehan Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis.

Dalam kontek ke Indonesiaan, sejak tahun 70-an Indonesia sudah beralih dari negara agraris ke negara industri, kemuadian dari negara industri beralih ke negara industri berteknologi komunikasi-informasi. Sejak itulah sawah dan ladang di sulap menjadi industri-industri dan gedung pencakar langit yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem karena polusi udara dan air limbah. Kemudian diperparah lagi dengan terjadinya penebangan liar dan kebakaran hutan. Sehingga hilanglah fungsi hutan yang merupakan paru-paru dunia.

Maka sebagai akibatnya, hingga hari ini dampak dari gejala global warming sudah mulai terasa dinegri kita—sebagimana dikabarkan oleh Verena Puspawardhani seorang koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang dari musim hujan sehingga menyebabkan panen gagal. Selain itu terjadi peningkatan kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah Kemudian diperkirakan pada 2070 sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut..

Konsekwensi dari Kemajuan
Penemuan teknologi di Barat punya pengaruh besar terhadap perkembangan industri di berbagai belahan dunia. Sejak itulah setiap negara berlomba-lomba untuk mengembangkan drinya menjadi negara maju melalui proses industrialisasi. Dan negara-negara yang sudah terbilang maju pun meng-alokasikan industri mereka ke negara-negara berkembang sebagai bentuk pemasaran. Hingga menyebarlah industri-industri di setiap penjuru dunia.

Maka kalau kita akumulasikan hasil pembakaran gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O) dalam skala global akan kita ketahui bahwa ada sekitar miliaran ton dalam setiap tahun gas rumah kaca itu di semburkan ke atsmosfir. Akibatnya, sinar matahari yang tiba ke permukaan bumi tak leluasa dipancarkan kembali ke ruang angkasa. kemudian panas tersebut terperangkap dekat permukaan bumi, sehingga menghasilkan gejala sebagaimana halnya di rumah kaca yang digunakan untuk menyemaikan tanaman. Dan gejala inilah yang melelehkan lapisan es di berbagai wilayah dunia, khususnya benua antartika.

Jelasnya tidak bisa kita pungkiri bahwa gejal Global Warming merupakan suatu konsekwensi dari kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin hari semakin pesat. Jadi mau tidak mau kita sebagai manusia yang hidup di zaman ini akan menjadi ‘mangsa’-nya.

Bagaimana Solusinya?
Keresahan itu mengetuk hati para pemimpin Negara- Negara di dunia untuk berkumpul membicarakan secara serius masalah ini. Perkumpulalan itu dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto-Jepang dan melahirkan Protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 84 negara. Dalam Protokolat ini negagra-negara industri maju diwajibkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 5,5%. Namun anehnya Amerika Serikat sebagai negara termaju saat ini, dengan angkuh menolak untuk menandatangani. Padahal AS adalah negara terbesar penghasil gas CO2. Alasan mereka sangat licik sekali “karena dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, itu berarti dapat mengurangi incame Negara”.

Disamping itu Negara-negara maju berupaya meminimalisir pemanasan global itu dengan pengembangan teknologi. Misalnya Di Jerman trend yang sedang marak diterapkan adalah disain rumah yang disebut Rumah Pasif. Artinya rumah ini menggunakan enerji kecil (ketika panas, tak membutuhkan AC, ketika dingin membutuhkan pemanas kecil). Atau ditemukannya mobil dengan penggunaan tenaga surya, tidak dengan bahan bakar fosil.

Selain itu Uni Eropa telah mengeluarkan beberapa kesepakatan dalam mengurangi CO2, antara lain:
- memperbanyak jalur sepeda dan pejalan kaki
- mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
- memberi label jumlah CO2 yang dihasilkan pada produk makanan
- menghisap CO2 dan menyimpannya di dalam tanah… tentunya dgn teknologi …
- meningkatkan penggunaan energi nuklir, gas bumi, energi angin dll

Hingga minggu kemarin (12 Desember 2007), PBB menggelar konferensi di Bali membahas masalah ini. Namum ‘Hasil Konferensi Bali Hanya Catatan Kaki’ saja, hal ini dilihat dari banyaknya kalangan yang menyesalkannya, karena mereka konferensi ini tidak mencantumkan target pengurangan emisi sebesar 25-40 persen pada 2020. Hingga konferensi Bali ditutup, jelasnya, AS dan Cina tidak menyepakati besaran target pengurangan emisi 25-40 persen pada 2020. Padahal, dua negara tersebut merupakan penyumbang emisi terbesar di dunia. PM Australia, Kevin Rudd, mengatakan dunia telah mengambil langkah berani. Namun, dia mengingatkan masih banyak hal yang harus dilakukan. ”Ini tanggung jawab kita semua untuk melakukan langkah lebih lanjut.” (lihat Republika :senin 17/12/07)

Namun Islam sebagai agama yang relevan dengan kemajuan, sejak 14 abad yang lalu telah memberikan manhaj (konsep) kepada manusia modern dalam menangani masalah global worming. Konsep yang didasarkan pada pesan-pesan robbani yang lebih nyata kebenaranya dari pada konsep dalam Protocol Kyoto yang merupakan buah pemikiran manusia. Diantara konsep itu adalah:

1. Membudayakan hemat energi.

“Maka makanlah dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sessungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang suka berlebihan”(Qs.Al A’rof : 31)
2. Gunakan produk ramah lingkungan

“….Dan janganlahkamu jerumuskan dirimu kepada hal yang akan membinasakanmu…….”(QS. Albaqoroh : 195)
3. Buang sampah pada tempatnya

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh: “Saya bertanya kepada Rsulullah Wahgai Rasullah ajarkanlah aku sesuatu yang dengannya Allah SWT memberikan manfaat kepadaku! Rasulullahpun berkata “Lihatlah terhadap apa yang mendatangkan bahaya bagi manusia, kemudian buanglah dari jalan mereka (yang membahayakan itu)”
4. Gunakan kendaraan ramah lingkungan

(QS. Albaqoroh : 195)

5. Memberantas penebangan hutan secara liar.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya….”(Qs. Al A’rof : 56)

Oleh karena itu kita sebagai masyarakat yang berpandangan hidup Islam, berkewajiban untuk meyakinkan mayarakat dunia bahawa segala kerusakan yang terjadi di alam, apapun bentuknya, yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan juga makhluk lainya, satu-satunya solusi adalah kembali ke manhaj robbani. Artinya kita harus menataati segala konsep yang telah digariskan oleh Sang Pencipta didalam Al Quran dan As Sunnah rasulullah SAW. Wallahu A’lam bis Showwab.
Tags: peradaban islam
Prev: Ibnu ‘Arobi dan Wihdatul Adyan
Next: Kata Orang Mesir tentang Indonesia

Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

NAMA:
E-MAIL:
KOMENTAR: